Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kolom

Menafsir Ulang Ampunan Dosa dalam Puasa

×

Menafsir Ulang Ampunan Dosa dalam Puasa

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Nur Kholis, Ketua LP2M STAI Muhammadiyah Karangasem Paciran, Lamongan

Ibadah puasa selalu identik dengan momen ampunan. Kita sering mendengar ungkapan bahwa puasa adalah kesempatan emas untuk membersihkan diri dari dosa. Tapi, pernahkah kita berfikir lebih jauh, apa sebenarnya makna ampunan yang kita cari selama berpuasa di Bulan Ramadhan? Apakah ampunan itu seperti ketika kita tidak sengaja menginjak kaki seseorang, lalu dengan cepat berkata, “maaf”, dan orang tersebut mengangguk memaafkan? Apakah sesederhana itu?

Example 300x600

Faktanya, ampunan dalam konteks spiritual, terutama selama Ramadhan, bukan sekedar tentang kata maaf yang mudah diucapkan itu. Ia adalah perjalanan batin yang mendalam, proses dimana kita diajak untuk tidak hanya menyesali kesalahan, tapi juga menyelami akar dari kesalahan itu sendiri. Dengan kata lain, ampunan sejati adalah melihat ke dalam diri kita, dan mengakui bahwa ada yang perlu diperbaiki, kemudian kita bergerak dengan berkomitmen tidak mengulanginya. Ini bukan soal ucapan semata, tapi soal kesungguhan hati. Lantas dosa seperti apa yang dapat ampunan?

Dalam perspektif moral, ada dua konsep besar ketika membicarakan dosa, yaitu dosa individu dan dosa sosial. Dosa individu merujuk pada pelanggaran moral atau agama yang dilakukan oleh seorang terhadap diri mereka sendiri atau terhadap hubungan pribadi mereka dengan Tuhan. Sementara, dosa sosial merujuk pada tindakan yang tidak hanya melanggar norma agama atau moral, tetapi juga merugikan masyaraat dan kelompok orang secara luas. Singkatnya, dosa sosial bukan hanya dilihat dari sudut pandang individu, tetapi juga terkait dengan dampaknya terhadap orang lain.

Dalil paling sering dipakai para mubaligh tentang ampunan dosa dalam puasa, adalah dari hadis Rasulullah, “Barangsiapa berpuasa karena iman dan niat mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini dipahami secara sederhana sebagai jaminan dosanya seseorang akan diampuni tanpa kategori. Padahal kalau kita pakai pendekatan dari teorinya Fazlurrahman tentang teori double movement, maka sebuah teks tidak lahir dalam ruang yang hampa, melainkan memiliki konteks sosial-historisnya (asbáb al-wurûd).

Kita tahu, Rasulullah ketika berbicara menyesuaikan dengan lawan bicaranya (mukhathab). Mengapa hadis Rasulullah ini termaktub demikian? Dugaan penulis, tidak terbayang di benak Rasulullah, ada dari sahabat sampai melakukan tindakan dhalim, apalagi tindakan korupsi yang mengambil hak orang lain. Maka penting sekiranya menafsiri ulang hadis ini, terutama tafsiran yang mengatakan seluruh dosa akan diampuni. Karena, jika tafsiran ini tetap dipertahankan apalagi dilestarikan, maka tidak menarik kemungkinan ibadah puasa hanya akan dijadikan sebagai ritual penghapusan dosa semata.

Puasa Bukan Hanya Soal “Saya dan Tuhan”

Kita sering mamaknai puasa sebagai ruang pribadi antara manusia dan Tuhan. Tapi benarkah puasa hanya tentang saya dan Tuhan? Jika dilihat dari dimensinya, puasa justru adalah ibadah yang paling sosial dari semua ibadah ritual. Seperti, ketika seorang sedang merasa lapar dan dahaga selama puasa, maka puasa menjadi salah satu sarana menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.

Apalagi saat momen berbuka puasa, di masyarakat kita ada tradisi buka bersama, di sana tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, semua orang menikmati hidangan yang sama tanpa ada perbedaan kelas sosial. Tapi juga tidak dipungkiri, memang seringkali momen buka bersama ini dilakukan dengan hidangan mewah dan berlimpah yang tentu hal ini sangat kontradiktif terhadap tujuan puasa tersebut. Buka bersama yang seharusnya diharapkan sebagai momen untuk merasakan penderitaan mereka yang miskin, justru menjadi momen yang konsumtif.

Puasa bukan soal saya yang ingin lebih dekat dengan Tuhan, tapi saya yang ingin lebih dekat dengan sesama. Bukan hanya menahan diri dari makanan, tapi juga dari amarah dan sikap tidak peduli terhadap sesama. Bukan soal mensucikan diri, tapi juga memperbaiki relasi sosial yang telah retak. Begitu besarnya ibadah ini mengajarkan kita terhadap dimensi sosial. Maka bagi pelaku kejahatan sosial merupakan kejahatan yang tidak akan diampuni, kecuali dimaafkan.

Dosa Mana Yang Diampuni?

Sebelum kita menentukan dosa mana yang diampuni, maka perlu kita pahami dahulu bahwa baik dosa individu atau dosa sosial sama-sama berpeluang untuk memperoleh ampunan. Tetapi, agar bisa diampuni, keduanya memiliki mekanisme yang berbeda. Dosa individu, dapat diampuni jika pelakunya melakukan taubat yang sungguh-sungguh (taubat al-nashuha). Sementara dosa sosial, dapat diampuni tidak cukup dengan bertaubat, tetapi juga harus dapat ampunan dari orang yang didhalimi atau difitnah. Sehingga, setelah kita tahu mekanisme ini, barulah di sini kita dapat mengkategorikan dosa mana yang diampuni.

Mari kita mencoba melakukan kategorisasi terlebih dahulu. Perintah shalat, zakat, puasa dan haji mungkin kategori dalam dosa individu. Kenapa? Sebagaimana definisi dari dosa individu yang telah dijelaskan di atas, maka bisa dikatakan bahwa dari semua perintah itu apabila tidak dikerjakan, maka tidaklah merugikan orang lain, kecuali merugikan individu itu sendiri. Boleh jadi, pelaku dosa seperti ini, andaikan di Bulan Ramadhan dia berniat bertaubat untuk tidak mengulanginya, maka taubatnya akan diterima dan dosanya yang lalu juga diampuni. Jelas, sampai sini? Tetapi, jika dosa yang dia kerjakan berdampak buruk terhadap orang lain, maka sebagaimana mekanisme ampunan dosa yang telah dijelaskan, maka tidaklah dia langsung memperoleh ampunan. Singkatnya, dosa sosial tidak tercover di dalam hadis di atas.

Agar mudah dipahami, penulis akan memberikan gambaran seperti apa dosa sosial itu. Hari ini banyak diberitakan tentang kejahatan asusilasebuah perilaku yang tidak sopan, tidak baik atau melanggar norma kesusilaan. Lantas, apakah kejahatan asusila termasuk bagian dari dosa sosial itu? Benar, karena kejahatan ini merugikan orang lain, bahkan yang dirugikan tidak hanya si korban, tetapi juga orang-orang terdekatnya. Kalau begitu, asusila ini tidak dapat ampunan dosa dalam puasa? Iya, karena walaupun di Bulan Ramadhan pelaku asusila itu berpuasa, tetapi tidak menjadi jaminan diampuninya dosa asusilanya tersebut. Baru dosanya akan diampuni jika dimaafkan si korban, dan juga dimaafkan orang-orang terdeketnya. Karena keduanya merupakan orang-orang yang dirugikan. Inipun jenis ampunan dosa yang tidak dimaksudkan dari hadis di atas.

Bayangkan, mekanisme ampunan dosa dari kejahatan asusila saja sudah begitu repotnya. Harus meminta maaf dan dimaafkan oleh korban dan orang-orang terdekatnya. Trus, bagaimana jika kejahatan itu dilakukan oleh pejabat yang melakukan korupsi, mendhalimi, menindas dan lain-lain? Tidak hanya satu atau dua orang yang dirugikan, tetapi ribuan bahkan jutaan orang yang dirugikan. Kalau mekanisme ampunan dari dosa sosial seperti itu, sepertinya dosa-dosa mereka mustahil akan memperoleh ampunan.

Wahai pejabat di negeriku, berhati-hatilah dalam menjaga amanah dari rakyatmu. Berfikirlah seribu kali jika engkau hendak melakukan kejahatan terhadap rakyatmu. Tuhan tidak akan mengampunimu, jikalau engkau tidak mendapat restu dari seluruh rakyatmu yang terdhalimi. Walláhu a’lam bi al-shawwáb.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *