Oleh: Intan Aulia Putri, Mahasiswi UIN Sunan Kudus
Bulan Desember selalu membawa suasana yang berbeda. Lampu lampu hias mulai menghiasi jalanan, dan berita tentang persiapan Natal semakin banyak diperbincangkan. Pada setiap akhir tahun momen ini bukan hanya perayaan yang diperingati oleh umat Kristiani saja, tetapi juga tentang bagaimana cara masyarakat menunjukkan sikap toleransi, mengingat dengan adanya keberagaman agama, budaya, dan tradisi di Indonesia. Pertanyaannya adalah, Apakah sikap toleransi kita semakin baik, atau masih sebatas formalitas saja?
Faktanya, sikap toleransi antar umat beragama selalu diuji pada saat hari besar tertentu, salah satunya adalah perayaan natal. Tidak sedikit isu-isu negatif beredar di media sosial yang menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Akan tetapi, ada juga hal hal positif yang jarang terekspos di media.
Jika kita melihat lebih dekat, ada banyak masyarakat yang justru menunjukkan sikap solidaritas yang luar biasa saat menjelang natal. Contohnya, pemuda masjid yang ikut membantu menjaga parkir atau keamanan gereja. Ada pula tokoh agama yang mengucapkan selamat atau bahkan ikut menghadiri acara kebersamaan lintas agama. Hal hal seperti ini sebenarnya menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepedulian sosial yang tinggi: semangat gotong royong, rasa saling menghormati, dan toleransi.
Meski begitu, toleransi kita masih sering bersifat pasif. Sebagian orang berpikir bahwa toleransi cukup dengan “asal tidak mengganggu”. Padahal, bentuk toleransi yang ideal adalah ketika kita tidak hanya membiarkan peringatan besar agama lain berjalan, tetapi juga ikut menjaga agar mereka bisa beribadah dengan tenang, damai, dan aman. Selain itu kita juga perlu memiliki kesadaran bahwa walaupun berbeda, semua kelompok agama mempunyai tugas dan tanggung jawab yang satu yaitu mengusahakan kesejahteraan bagi semua orang. Tantangannya adalah bagaimana cara mengubah pola pikir masyarakat dari toleransi yang sekadar formalitas menjadi toleransi yang aktif.
Untuk mencapai itu, dibutuhkan edukasi lintas budaya. Sekolah, keluarga, media sosial memiliki peran yang besar dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap keberagaman. Khususnya pemuda, memiliki potensi menjadi penghubung di tengah polarisasi. Dengan kebiasaan mereka yang terbuka, sikap toleransi dapat semakin menyebar dan menguat di sela lingkungan masyarakat.
Pada akhirnya, Desember bukan hanya tentang perayaan natal, tetapi juga menjadi ruang untuk kita bisa refleksi. Toleransi bukan sekadar posting media sosial yang penuh dengan ucapan manis. Toleransi harus, dijaga, dirawat, dan diterapkan dalam sehari hari. Semoga natal tahun ini menjadi momen yang dapat mempererat kembali persaudaraan dan membuktikan bahwa tingkat solidaritas bangsa kita terhadap keberagaman sangat kuat.

















