Oleh: Afifah ‘Ainun Ni’mah, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang
Puisi Kahlil Gibran yang berjudul “ Anakmu Bukanlah Anakmu” memberikan pandangan yang luas lagi mendalam tentang hubungan orang tua dan anak. Pada puisi ini, Gibran mengajak kita untuk bersama-sama merenungkan bahwa hakikat kepemilikan antara hubungan orang tua dan anak bukanlah selayaknya properti atau perpanjangan tangan dari orang tua. Hubungan mereka adalah hubungan antar individu yang merdeka dan memiliki jalan hidup masing-masing.
Sering kali, orang tua memiliki harapan yang menjulang tinggi terhadap anak mereka, mengikuti jejak mereka dan bahkan menginginkan mengikuti harapan yang mereka citakan. Semua hal tersebut sering kali dilakukan mereka dengan dalih mengatasnamakan “sayang dan cinta”, akan tetapi tidak jarang justru malah sebaliknya yakni membebani mereka sebab tidak sesuai dengan hati nurani dan pikiran.
Gibran dalam puisinya ini menggunakan metafora yang indah untuk menggambarkan posisi anak dan orang tua. Anak-anak digambarkan sebagai anak panah dan orang tua sebagai busurnya. Harapannya panah itu bisa melesat jauh menuju masa depan. Sementara busurnya hanya sebagai fasilitas atau alat awal untuk memberikan mereka dukungan awal bertolak menyusuri jalan menuju masa depan yang menjadi cita-cita dan pilihan sadar anak. Metafora ini sangat cocok dengan berbagai kondisi saat ini di mana orang tua merasa yang lebih berkuasa atas anak sehingga mereka bebas untuk mengatur dan mengarahkan anak sesuai keinginan mereka tanpa mau mendengarkan keinginan anak.
Dalam hal ini secara tegas Gibran ingin mengajak kita sebagai orang tua untuk melepaskan anggapan bahwa anak adalah milik pribadi kita yang harus tunduk dan patuh terhadap semua perkataan dan kehendak kita. Bahkan, sering kali jika tidak tunduk dan patuh akan dianggap sebagai anak pembangkang dan paling ekstrim dianggap anak durhaka.
Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua yang memiliki anak ialah melepaskan harapan dan ekspektasi yang menjulang tinggi kepada anaknya. Ekspektasi yang sering kali berseberangan dengan pikiran anak. Sebetulnya kita sedang membelenggu anak dalam kotak sempit, ketika kita memaksakannya untuk mengikuti jejak kita, meraih prestasi tinggi atau bahkan lebih tinggi daripada kita, serta memilih jalan hidup yang kita anggap paling baik. Anak-anak akan merasa sangat terbebani dan kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi lebih jauh minat dan bakat yang mereka miliki.
Akibatnya akan sangat berbahaya, sebab anak akan merasa terbebani, tertekan, kehilangan motivasi dan bahkan sulit menemukan identitas diri.Perlu kita sadari bahwa peran orang tua hanyalah sebagai busur panah, tempat awal anak untuk bertolak menuju masa depan. Busur yang senantiasa menjadi pendorong terbaik, busur yang senantiasa menjadi fasilitator terbaik dan busur yang senantiasa memberikan nasihat agar anak panah bisa melesat jauh dengan segala bekal yang baik menuju kehidupan masa depan yang terbaik. Bahkan kita tidak bisa menyamakan cara mendidik mereka dengan orang tua kita dulu.
Mereka hidup di zaman sekarang yang sudah sangat jauh berbeda dengan kehidupan kita sebagai orang tuanya di masa lampau. Mereka memang datang melaluimu tapi bukan darimu, sebab mereka diciptakan oleh-Nya. Orang tua hanya sebagai jalan perantara hadirnya anak di dunia dan Sang Penciptalah yang paling berhak atasnya. Tugas kita sebagai orang tua adalah memberikan pondasi yang kuat, agar ketika anak sudah siap untuk dilepas dia tidak kehilangan pondasi utamanya yang tetap berpedoman pada nilai dan agamanya.
Setelah anak sudah kita penuhi pondasi utamanya kita harus berani melepaskan mereka melangkah lebih jauh dan menemukan potensi terbaiknya. Mendukung setiap pilihan terbaiknya dan tak lupa senantiasa memberikan arahan tanpa unsur memaksakan. Pesan utama dari puisi Gibran yang populer ialah penghargaan atas kemandirian anak dan penolakan kepemilikan absolut pada hubungan orang tua dan anak. Gibran menyadarkan kita bahwa cinta sejati ialah cinta yang membebaskan, bukan cinta yang mengikat.
Dengan cinta sejati tersebut orang tua sejatinya tidak akan kehilangan anaknya, akan tetapi ia malah membantu mereka untuk terus bertumbuh menjadi manusia yang utuh.Pada konteks sekarang puisi ini juga sangat relevan dengan kondisi hubungan anak dan orang tua yang senantiasa menuntut keseragaman dan kepatuhan pada norma-norma tertentu. Gibran mengingatkan kita untuk senantiasa mendukung anak menemukan identitas dan tujuan mereka sendiri. Meskipun pada realitanya kita sebagai orang tua tetap khawatir akan risiko dan juga berbagai halangan yang kemungkinan besar terjadi ketika anak mulai survive pada jalannya.
Tugas kita adalah membersamai dan menaruh kepercayaan bahwa anak dapat melewati berbagai risiko yang ada untuk kemudian dijadikan pengalaman di masa depan. Hubungan yang seperti ini akan menciptakan keharmonisan antara orang tua dan anak. Oleh karena itu, mari bersama-sama merenungkan kembali cara kita mencintai anak dan mendukung generasi penerus. Berikan kebebasan agar mereka lebih menghormati kita dan dunianya, sebab mereka merasa didukung dan dihormati oleh suport sistem utamanya. Mari terus mengusahakan untuk menjadi orang tua yang mencintai secara ugal-ugalan tanpa rasa memiliki, terus mendukung tanpa mendikte dan berani melepaskan tanpa takut kehilangan. Wallahu a’lam bi al-shawab.