Oleh: Natasya Della Amanda, Mahasiswa UIN Salatiga
Demokrasi bukan hanya sistem pemerintahan yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, tetapi juga sebuah nilai yang seharusnya meresap dalam kehidupan setiap warga negara. Dalam praktik berbangsa dan bernegara, demokrasi idealnya tidak hanya hadir di ruang formal seperti pemilu atau lembaga legislatif, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari, mulai dari lingkungan kampus, organisasi, hingga tempat tinggal.
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya melihat bahwa prinsip-prinsip demokrasi memang sering diupayakan untuk diterapkan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak tantangan yang membuat nilai-nilai tersebut kadang terabaikan.
Di lingkungan pesantren, misalnya, penerapan demokrasi dapat dilihat dari proses pemilihan ketua pondok. Dalam proses ini, semua mahasantri memiliki hak yang sama untuk memilih, dan para calon ketua diberi kesempatan memaparkan visi dan misi secara terbuka. Saya pernah terlibat langsung sebagai pemilih dalam proses tersebut. Dari pengalaman itu, saya memahami bahwa demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga menuntut keterbukaan, keadilan, dan tanggung jawab bersama.
Namun, saya juga menyaksikan bagaimana prinsip demokrasi sering kali diabaikan, terutama dalam pengambilan keputusan penting seperti penambahan aturan atau pemberian sanksi yang dilakukan secara sepihak oleh pengurus tanpa melibatkan aspirasi para santri. Tidak adanya ruang dialog atau forum musyawarah menyebabkan santri menjadi enggan menyampaikan pendapat atau kritik karena khawatir dianggap tidak sopan. Selain itu, dalam beberapa kasus, pemilihan pengurus organisasi santri dilakukan dengan sistem penunjukan, bukan melalui pemilihan terbuka. Ini menunjukkan kurangnya partisipasi dan transparansi, yang bertentangan dengan semangat demokrasi.
Hal serupa juga saya temui di lingkungan tempat tinggal. Setiap bulan, warga diundang dalam rapat RT untuk membahas berbagai isu seperti kebersihan, keamanan, atau kegiatan sosial. Secara teori, setiap warga berhak menyampaikan pendapat. Namun, dalam praktiknya, hanya segelintir orang—terutama yang dianggap senior atau memiliki posisi sosial tinggi—yang pendapatnya benar-benar diperhatikan. Anak muda, ibu rumah tangga, bahkan pendatang baru jarang diberi ruang berbicara, dan jika mereka menyampaikan usulan, sering kali diabaikan tanpa alasan yang jelas. Situasi ini menunjukkan bahwa praktik demokrasi dalam masyarakat dapat terkikis oleh budaya feodal yang masih kuat.
Menurut saya, demokrasi sebagai nilai harus terus diperjuangkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu lima tahunan atau forum musyawarah formal, tetapi tentang menghargai perbedaan, mendengarkan pendapat orang lain, dan bersedia berbagi kekuasaan serta tanggung jawab.
Tindakan-tindakan sederhana, seperti memberi kesempatan orang lain berbicara dalam diskusi, bersikap adil dalam pembagian tugas, serta terbuka terhadap kritik, adalah contoh nyata bagaimana demokrasi dapat hidup dalam keseharian kita.
Kesadaran akan pentingnya demokrasi harus dibangun sejak dini, terutama di kalangan generasi muda. Pesantren, organisasi, dan komunitas adalah laboratorium kecil tempat kita belajar dan mempraktikkan nilai-nilai demokrasi. Jika prinsip-prinsip tersebut diterapkan secara konsisten, maka demokrasi tidak hanya hidup dalam sistem pemerintahan, tetapi juga dalam jiwa dan perilaku setiap warga negara.
Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi warga negara dalam pengertian formal, tetapi juga menjadi bagian dari masyarakat demokratis yang matang dan bertanggung jawab.