Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

Menyoal Fenomena ‘Gatekeeping’ di Tengah Era Keterbukaan

×

Menyoal Fenomena ‘Gatekeeping’ di Tengah Era Keterbukaan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Ada diskursus di internet yang belakangan ini cukup menyita perhatian. Intinya, ada trend—lucu-lucan sebenarnya—memperagakan (dengan tujuan mengejek) orang yang diistilahkan permormative male, yaitu sekelompok laki-laki yang memenuhi beberapa stereotip; earphone kabel di telinga, buku ditenteng di tangan, totebag di bahu dan beberapa hal lain karena dianggap caper, fomo, dan sebagainya.

Sepanjang pengalaman menggunakan sosial media, kita mungkin melihat fenomena dimana begitu banyak orang mencoba untuk terlihat berbeda, edgy, dan terkesan tidak ikut orang kebanyakan. Tidak fomo. Ini menarik. Ketika pakar ekonomi dan komunikasi berfatwa kalau informasi dan media yang kita konsumsi—secara sadar maupun tidak—membentuk selera dan kepribadian kita, sehingga apa yang kita beli, apa yang kita pakai, tonton, sukai, benci, adalah hasil dari algoritma, beberapa orang justru memilih untuk terlihat unik, otentik, dan original.

Example 300x600

Ketika ada lagu, misalnya—yang sebelumnya underrated dan tidak banyak yang tau tiba-tiba booming di tiktok, sering lewat fyp, orang yang sebelumnya menyukai lagu itu akan mencak-mencak di kolom komentar tentang betapa kesalnya ia karena lagi itu viral. Ketika ada artis indie berbakat yang akhirnya mendapat popularitas yang besar, komplain serupa juga akan banyak terlihat, seakan yang boleh tau lagu itu hanya dia seorang.

Akhir-akhir ini ada istilah performative reader. Dulu—setidaknya lima tahun kebelakang— membaca buku, apalagi di tempat umum, adalah hal yang langka dan dianggap keren. Memperlihatkan bacaan di media sosial dilihat baik dan positif, dan ada akun-akun yang memang khusus membahas dan mereview buku yang sedang ia baca. Muncullah istilah bookgram dan booktok. Membagikan buku bacaan jadi trend. Berjalan sambil membawa buku jadi modis. Tapi makin kesini, karena semakin banyak yang melakukan, akhirnya ada stigma kalau mereka yang melakukan itu paling hanya ikut-ikutan, biar terlihat keren, biar kelihatan pintar, dan biar-biar yang lain. Akhirnya, kegiatan di sosial media yang tadinya dipandang positif sekarang justru jadi cemoohan.

Ada sisi ekslusivitas di sosial media yang begitu terbuka dan hingar bingar, sehingga ada hal-hal yang hanya boleh dibahas oleh beberapa kalangan saja. Ada topik yang seru kalau hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Ketika hal itu sudah populer dan viral hingga makin banyak yang tau, nilainya jadi berkurang. Jadi tidak sekeren itu lagi. Kita memang cenderung senang kalau wawasan musik, film, atau literasi kita lebih luas dari orang lain.

Kita akan semakin senang kalau menyebutkan judul buku yang hanya kita yang tau. Ada semacam rasa bangga yang sebenarnya tidak perlu. Sebaliknya, kita takut kalau selera kita dianggap pasaran. Takut kegemaran kita dikatakan disetir fyp. Rasa takut yang sebenarnya juga tidak perlu. Tapi mungkin untuk saat ini, di era seperti ini, sikap semacam itu mungkin memang menjadi keniscayaan. Tapi setidaknya, di saat linimasa kita dipenuhi dengan kepalsuan dan kepura-puraan, kita bisa menjadi menjadi diri sendiri. Mendengarkan lagu favorit tanpa khawatir dicibir, memakai pakaian yang kita anggap keren tanpa takut dianggap fomo, dan membaca buku popular yang memang kita anggap bagus tanpa merasa di-judge.

Muhammad Syaiful Reza, Mahasiswa IAT UIN Walisongo Semarang

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *