Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
Hari Anak Nasional (HAN) setiap 23 Juli adalah momen reflektif bagi bangsa untuk meneguhkan komitmen terhadap pemenuhan hak-hak anak.
Di era Kecerdasan Artifisial (AI), peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan panggilan untuk menata masa depan generasi muda dengan pendekatan baru yang adaptif, cerdas, dan berkarakter.
Anak-anak Indonesia hari ini tumbuh dalam lanskap digital yang penuh tantangan sekaligus peluang.
Kehadiran AI telah mengubah cara anak belajar, bermain, bahkan berinteraksi, menjadikan teknologi sebagai bagian dari dunia batin dan keseharian mereka.
Namun, euforia akan kemajuan teknologi harus dibarengi dengan refleksi kritis.
Apakah AI benar-benar menghadirkan ruang tumbuh yang sehat bagi anak, atau justru menjadi medan baru eksploitasi, isolasi, dan kecanduan digital?
Merayakan HAN di era AI berarti menumbuhkan kesadaran bahwa perlindungan anak kini tak hanya soal makanan, pendidikan, atau kesehatan.
Tetapi juga soal literasi digital, keamanan data pribadi, dan pembentukan karakter di ruang maya yang tak berbatas.
Pendidikan karakter menjadi kata kunci.
AI dapat mempercepat pembelajaran, tetapi tidak bisa menggantikan empati, moralitas, dan nilai kemanusiaan yang harus ditanamkan sejak dini oleh keluarga dan sekolah.
Teknologi bukan musuh anak-anak, melainkan alat.
Maka, menjadi tugas orang dewasa untuk memastikan bahwa anak-anak menggunakan AI untuk berkembang, bukan untuk dikendalikan atau teralienasi dari realitas sosialnya.
Di sisi lain, anak-anak juga harus dilatih menjadi kreator, bukan sekadar pengguna pasif.
AI harus dimaknai sebagai ruang berekspresi dan berkarya, seperti menciptakan konten edukatif, animasi, atau aplikasi sederhana sesuai usia dan bakat.
Karenanya, momentum HAN menjadi sangat strategis untuk menggelorakan kembali semangat tumbuh bersama teknologi.
Kegiatan seperti lomba menulis, coding untuk anak, atau diskusi tentang keamanan digital adalah contoh perayaan yang edukatif sekaligus inspiratif.
Pemerintah, sekolah, dan komunitas perlu bersinergi untuk menghadirkan ekosistem digital yang ramah anak.
Bukan hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan pendampingan aktif dan ruang dialog yang sehat antara generasi muda dan dewasa.
Tak kalah penting adalah pemberdayaan anak di wilayah tertinggal dan marjinal agar tidak tertinggal dalam arus AI.
Keadilan digital adalah bagian dari hak anak yang tak boleh diabaikan dalam narasi transformasi teknologi nasional.
Refleksi HAN di era AI juga menantang kita untuk melihat anak bukan sebagai objek perlindungan semata.
Mereka adalah subjek yang mampu berperan dalam perumusan masa depan, bahkan ikut menyuarakan pandangan tentang dunia yang mereka warisi.
Kita butuh ruang-ruang mendengarkan, bukan hanya ruang mengajarkan.
Kita perlu lebih banyak bertanya: “Apa yang anak-anak pikirkan tentang AI, tentang masa depan, tentang dunia mereka sendiri?”
AI bisa menyimpan informasi, tetapi anak-anaklah yang menyimpan harapan dan arah peradaban.
Dengan bimbingan yang tepat, mereka bisa menjadikan AI sebagai alat pembebasan, bukan jerat kebebasan.
Merayakan HAN hari ini berarti menyiapkan anak-anak untuk menjadi manusia digital yang utuh: cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan kokoh secara moral.
Mereka bukan hanya penerus zaman, tetapi penentu arah zaman.
Di tengah laju algoritma dan transformasi teknologi, mari kita ajak anak-anak menulis masa depan dengan hati, bukan hanya dengan kode.
Karena masa depan Indonesia—dan kemanusiaan—bertumpu pada bagaimana hari ini kita memperlakukan anak-anak kita. (*)