Oleh: Syifa Raya Rahmandhani, Mahasiswa UNS Surakarta
Beberapa waktu terakhir, linimasa media sosial—khususnya TikTok—dipenuhi curahan hati Gen Z yang mengaku takut menikah. Ada yang trauma setelah menonton video viral tentang kekerasan dalam rumah tangga, ada yang diliputi ketakutan akan perselingkuhan, dan tidak sedikit yang merasa tidak sanggup memikul peran sebagai kepala keluarga atau ibu rumah tangga di tengah tekanan hidup yang semakin berat. Paparan konten negatif tentang hubungan datang silih berganti: kisah pernikahan toksik, pengakuan perselingkuhan, hingga kekerasan domestik yang dikemas dramatis dan viral. Akibatnya, persepsi banyak anak muda terbentuk bahwa pernikahan bukan lagi tempat pulang yang menenangkan, melainkan arena bertahan hidup yang penuh risiko emosional dan fisik. Bagi sebagian Gen Z, menikah terasa seperti memasuki “mode hardcore” dalam kehidupan—sesuatu yang lebih baik ditunda.
Ketakutan ini semakin menguat karena banyak dari mereka tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak ideal. Pertengkaran orang tua, rumah tangga yang retak, hingga hubungan pertemanan yang hancur karena pengkhianatan menjadi pengalaman kolektif yang membekas. Standar hubungan yang ditampilkan media sosial pun sering kali terlalu sempurna atau sebaliknya terlalu horor, membuat Gen Z merasa takut gagal memenuhi ekspektasi atau justru takut terluka. Pernikahan akhirnya dipandang bukan sebagai proses belajar dan bertumbuh bersama, melainkan sebagai potensi trauma baru.
Jika dibiarkan, fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga berpotensi menjadi masalah sosial yang lebih luas. Menurunnya minat menikah dan memiliki anak dapat berimplikasi pada masa depan demografi Indonesia. Kekurangan generasi produktif akan memengaruhi ekonomi, tenaga kerja, dan keberlanjutan pembangunan. Artinya, ketakutan menikah bukan lagi isu personal semata, tetapi persoalan struktural yang patut mendapat perhatian serius.
Namun jika ditelaah lebih dalam, Gen Z sejatinya bukan takut pada pernikahan itu sendiri. Mereka takut pada kondisi dunia saat ini. Takut pada relasi yang sarat drama, budaya perselingkuhan yang dinormalisasi, pornografi yang merusak cara pandang tentang hubungan, serta lingkungan sosial yang membuat kepercayaan menjadi barang langka. Konten “relationship horror stories” yang terus diproduksi dan dikonsumsi memperparah kerentanan mental mereka. Banyak Gen Z sebenarnya tidak anti-pernikahan, melainkan anti-luka. Mereka menolak risiko sakit hati akibat pasangan yang salah atau kondisi hidup yang tidak stabil. Tekanan ekonomi juga memainkan peran besar. Harga sewa tempat tinggal melonjak, kebutuhan pokok semakin mahal, gaji stagnan, dan persaingan kerja kian ketat. Dalam situasi ini, pernikahan terasa seperti misi berlevel “expert mode” yang tidak semua orang siap jalani.
Karena itu, solusi atas ketakutan ini tidak cukup dengan nasihat individual seperti “self-healing dulu” atau “belum waktunya”. Akar persoalannya jauh lebih dalam, yakni sistem sosial yang membuat pernikahan tampak menakutkan. Di titik inilah perspektif Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar gejala.
Dalam pandangan Islam, lingkungan sosial yang sehat menjadi fondasi utama. Praktik-praktik yang merusak relasi, seperti pornografi, perzinaan, dan pergaulan bebas tanpa batas, bukan sekadar persoalan moral individual, tetapi faktor struktural yang merusak kepercayaan dan keamanan emosional. Ketika lingkungan sosial lebih terjaga, risiko perselingkuhan, kehamilan di luar nikah, dan trauma relasi dapat ditekan. Pernikahan pun kembali menjadi ruang aman, bukan sumber kecemasan.
Selain itu, Islam menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Banyak Gen Z takut menikah bukan karena tidak ingin berkomitmen, melainkan karena hidup saja sudah terasa berat. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban memastikan kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan terpenuhi secara layak. Ketika masyarakat tidak terus-menerus dibebani kecemasan ekonomi, pernikahan tidak lagi dipandang sebagai beban mental dan finansial.
Islam juga menekankan kemudahan dalam proses pernikahan. Esensi pernikahan terletak pada akad, bukan kemewahan pesta. Ketika pernikahan difasilitasi agar sederhana, murah, dan bebas dari beban administratif yang berlebihan, komitmen jangka panjang tidak lagi identik dengan biaya puluhan juta. Negara dapat berperan melalui fasilitas pernikahan yang terjangkau, pendampingan awal rumah tangga, dan regulasi yang mempermudah akad nikah.
Namun pembenahan sistem eksternal saja tidak cukup. Pembinaan karakter dan kesiapan internal calon pasangan juga sangat penting. Kesamaan iman, nilai, visi hidup, serta pemahaman agama menjadi fondasi kuat untuk mengurangi konflik serius dalam rumah tangga. Ketika tujuan hidup dipahami sebagai ibadah, pernikahan tidak lagi dijalani sebagai tuntutan sosial, tetapi sebagai jalan pengabdian yang bermakna.
Pendidikan pranikah yang komprehensif juga menjadi kebutuhan mendesak. Tidak berhenti pada tes kesehatan, tetapi mencakup pembinaan tentang hak dan kewajiban suami-istri, komunikasi sehat, manajemen konflik, pengelolaan keuangan, serta kesiapan spiritual. Dengan bekal ini, pernikahan dijalani dengan kesiapan mental dan iman, bukan sekadar modal materi.
Pada akhirnya, yang perlu disembuhkan bukanlah “Gen Z yang takut menikah”, melainkan lingkungan dan sistem yang membuat pernikahan tampak berbahaya. Jika kebijakan dan nilai sosial dibangun untuk menjaga relasi, menjamin kesejahteraan, serta membina calon pasangan secara menyeluruh, pernikahan tidak lagi dipersepsikan sebagai zona bahaya. Ia kembali menjadi jalan hidup yang aman, stabil, dan penuh keberkahan.
Gen Z sebenarnya ingin menikah. Mereka hanya ingin melakukannya dalam dunia yang sehat, aman, dan manusiawi. Dan itu hanya mungkin terwujud jika perbaikan dilakukan dari akar, bukan sekadar menenangkan ketakutan di permukaan.


















