Pacaran merupakan fenomena sosial yang sangat umum terjadi di kalangan anak muda. Pacaran adalah tahap awal dari sebuah hubungan romantis di mana dua individu saling mengenal dan membangun kedekatan emosional. Menurut DeGenova & Rice (2005) pengertian pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melalukan serangkaian aktivitas bersama agar saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi di Indonesia, pandangan tentang pacaran sangat beragam dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, agama, dan latar belakang sosial masing-masing individu. Pada mulanya di Negara Indonesia yang memakai adat ketimuran, pacaran dilakukan secara rahasia akan tetapi kini pacaran dilakukan secara terang-terangan bahkan sampai melakukan persetubuhan hingga hamil. Dan mirisnya banyak dari mereka yang akhirnya melakukan aborsi, karena belum siap memiliki anak dan malu karena melanggar norma-norma sosial.
Lalu bagaima pandangan agama islam terhadap pacaran? Apakah pacaran dianjurkan? Dalam al-Qur’an terdapat surah surah Al-Isra ayat 32 yang memiliki arti “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” Artinya, Islam melarang keras kepada umatnya untuk mendekati zina, mendekati saja dilarang apalagi sampai melakukan.
Namun di era dunia yang serba instan ini, pacaran seakan menjadi standar kebahagiaan bagi remaja. Media sosial membombardir kita dengan citra pasangan yang romantis, membuat banyak orang merasa bahwa memiliki pacar adalah satu-satunya cara untuk merasa lengkap dan bahagia. Anggapan ini perlu kita telaah lebih dalam. Pacaran memang bisa membawa kebahagiaan, tetapi bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan sejati. Terlebih lagi, tekanan untuk berpacaran seringkali membawa dampak negatif pada kesehatan mental dan perkembangan diri remaja. Pada intinya tulisan ini akan menjelaskan bahwa “Pacaran Bukan Satu-Satunya Kunci Kebahagiaan Remaja”.
Tekanan sosial untuk berpacaran sangat kuat, terutama di kalangan remaja. Media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang harus memiliki pasangan. Akibatnya, remaja yang belum berpacaran seringkali merasa terisolasi, rendah diri, dan tidak menarik. Padahal, setiap individu memiliki ritme perkembangan yang berbeda, dan tidak semua orang siap untuk menjalin hubungan asmara pada usia yang sama. Ketika terlalu fokus pada hubungan, remaja seringkali mengabaikan minat dan tujuan pribadi mereka. Mereka mungkin rela menunda belajar, mengurangi waktu untuk berkumpul dengan teman, atau bahkan mengubah kepribadian demi menyenangkan pasangan. Padahal, memiliki identitas dan tujuan hidup yang jelas sangat penting untuk membangun kebahagiaan jangka panjang.
Pacaran juga bisa menjadi sumber kecemasan dan stres yang signifikan. Menurut pengalaman saya pribadi, pacaran dapat menyebabkan khawatiran akan pendapat orang lain, takut kehilangan pasangan, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna. Hal ini jelas dapat mengganggu kesehatan mental remaja. Ketergantungan emosional yang berlebihan pada pasangan juga berdampak negatif pada perkembangan diri. Padahal kebahagiaan adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Meskipun pacaran bisa menjadi bagian dari perjalanan itu, tidak ada satu pun hal yang dapat menjamin kebahagiaan kita secara terus-menerus.
Sebagai remaja, kita perlu membangun konsep diri yang kuat dan mandiri. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menghadapi berbagai tantangan hidup dan menemukan kebahagiaan sejati dari dalam diri sendiri. Banyak cara lain untuk meraih kebahagiaan selain berpacaran. Kita bisa mengeksplorasi minat dan hobi, membangun hubungan sosial yang positif, menjaga kesehatan fisik dan mental, serta mengejar tujuan hidup yang lebih besar. Ingatlah, kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri kita sendiri, bukan dari orang lain. Oleh karna itu, mari kita ciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi remaja, di mana mereka merasa bebas untuk menjadi diri sendiri tanpa harus merasa tertekan untuk berpacaran. Mari kita bantu remaja memahami bahwa kebahagiaan itu beragam dan tidak bisa diukur dengan status hubungan.
Oleh: Ana Vaidatu Zuhda, Mahasiswa Aktif Universitas Islam Salatiga Angkatan 2023