Aku pernah bertanya pada malam: “Untuk apa merangkai kata ‘cinta’ jika yang kita rayu hanyalah bayangan diri sendiri?”
Pacaran – permainan dua jiwa yang mengukur kedalaman laut dengan jari-jari yang basah.
Kita menyebutnya “proses mengenal”, tapi seringkali hanya menggali sumur untuk menuang air mata.
Mereka bilang, “Kamu harus pacaran dulu sebelum menikah.”
Tapi lihatlah: berapa banyak bunga yang layu di vas sebelum sempat ditanam di kebun?
Berapa banyak “aku cinta kamu” yang terkubur jadi sampah di gudang ingatan?
Kita terjebak dalam peta buta – meraba-raba kehangatan kulit sambil lupa bahwa jiwa punya bahasanya sendiri.
Apa arti memiliki sebelum ikatan suci itu terukir?
Bagaimana mungkin dua tangan yang masih belajar memegang janji bisa menjaga api tanpa membakar batas?
Aku melihat teman-teman yang terjebak dalam siklus: jatuh cinta, bertengkar, putus, lalu mengulangi drama yang sama dengan wajah berbeda.
Seolah-olah cinta adalah laboratorium tempat kita menjadi tikus percobaan perasaan.
Tuhan…
Bukankah lebih indah jika semua rindu ini KAU saja yang tahu?
Seperti benih yang diam-diam bertunas di kegelapan tanah,
Seperti bintang yang tak perlu pamer cahaya untuk disebut setia.
Aku ingin cinta ini tetap utuh – murni seperti embun pagi yang belum tersentuh kaki manusia.
Pacaran sering menjadikan kita pencuri waktu.
Mencuri pandangan yang bukan hak kita,
Mencuri sentuhan yang belum pantas kita miliki,
Bahkan mencuri kepastian dari takdir yang belum tiba waktunya.
Aku tak ingin menjadikan dia “properti sementara” sambil berbisik: “Ini hanya latihan untuk pernikahan.”
Mungkin kita lupa:
Cinta bukanlah eksperimen.
Jiwa bukanlah kelinci percobaan.
Ada kesucian yang harus dijaga – rahasia antara dua hati dan Sang Pencipta.
Mengapa kita ingin menuliskan cerita di kertas buram, padahal Tuhan sudah menyiapkan kanvas bersih untuk kita?
Aku memilih untuk mencintai dalam diam.
Seperti akar yang merawat pohon tanpa perlu pamer bunga.
Di sini, di ruang sunyi ini, aku belajar:
Mencintai bukan tentang memiliki, tapi tentang menjadi siap.
Siap menjaga kehormatannya meski tak ada yang mengawasi.
Siap merindukan tanpa perlu bukti.
Siap menunggu hingga waktu-Nya berkata: “Inilah jalan yang telah Ku-sucikan.”
Kelak, jika memang dia jodohku,
Kita tak perlu mengenal dengan cara merusak pagar.
Kita akan bertemu sebagai dua jiwa yang utuh. Bukan dua potongan puzzle yang sudah aus karena dipaksakan menyambung pada yang salah.
Dan di hari itu,
Ketika di pelaminan kita berdiri,
Aku ingin bisa berbisik pada Tuhan:
“Lihat, Kuliindungi cinta-Mu sampai tiba waktunya Kau izinkan kami menyentuh takdir ini.”
Oleh: Putri ‘Aisyah Nurul Iman, Ketua Komunitas Puisi Esai Planet Nufo Rembang