Oleh: Syafira Putri Ramadhani, Peserta Lomba Opini Hari Sumpah Pemuda GPII Jateng, Siswa SMK Muhammadiyah Gunem, Rembang, Jawa Tengah.
Hari Sumpah Pemuda selalu menjadi momentum sakral untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang pada kobaran semangat 1928, dan merumuskan kembali peran kita di hari ini. Bukan lagi tentang melawan penjajah fisik, tantangan pemuda Indonesia kini jauh lebih kompleks, namun intinya tetap sama: persatuan dalam aksi nyata. Dengan tema “Pemuda Berkarya untuk Indonesia,” kita diajak untuk melihat bahwa janji satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah modal yang harus diwujudkan, bukan sekadar dikenang. Karya, dalam konteks ini, adalah manifestasi modern dari semangat Sumpah Pemuda.
Jika pemuda 1928 berikrar di tengah keterbatasan, kita, Generasi Milenial dan Z, lahir di era kemudahan yang tak terbayangkan oleh pendahulu. Dunia digital membuka ruang tanpa batas untuk bersuara, berkolaborasi, dan—yang terpenting—berkarya. Karya tidak lagi harus berbentuk revolusi bersenjata atau pidato politik di podium; karya bisa berupa inovasi teknologi di garasi, kampanye lingkungan di media sosial, gerakan literasi di pelosok desa, atau bahkan kesuksesan seorang content creator yang mempromosikan pariwisata lokal ke mata dunia.
Sayangnya, kemudahan ini seringkali berbanding lurus dengan godaan untuk terlena dalam euforia digital yang dangkal. Kita rentan terjebak dalam echo chamber media sosial, di mana perbedaan seringkali memicu perpecahan, bukan kekayaan. Ironisnya, di zaman yang serba terhubung ini, semangat “satu bangsa” dan “satu tanah air” malah diuji oleh isu-isu intoleransi, penyebaran hoaks, dan gempuran budaya asing yang menggerus identitas lokal.
Di sinilah kedalaman gagasan Sumpah Pemuda harus kita gali. Berkarya untuk Indonesia berarti menolak perpecahan dan menjembatani jurang perbedaan melalui kontribusi positif. Jika para pemuda dulu bersatu karena tekanan kolonial, kita harus bersatu karena visi bersama: mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat, setara dengan bangsa-bangsa besar.
Lalu, bagaimana bentuk karya yang relevan di masa kini? Pertama, kita harus berani menjadi inovator. Bonus demografi adalah potensi emas, tetapi akan sia-sia jika kita hanya menjadi konsumen pasif. Pemuda hari ini harus mampu mentransformasi tantangan lokal menjadi peluang global. Contohnya, masalah sampah plastik yang mengancam laut kita harus direspons dengan inovasi daur ulang berbasis teknologi, yang tidak hanya membersihkan lingkungan tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Kedua, karya harus dilandasi oleh rasa cinta dan bangga terhadap tanah air. Ini bukan sekadar mengibarkan bendera, tetapi juga memajukan budaya dan produk lokal. Ketika pemuda bangga menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, ketika desainer muda mengangkat kain tradisional ke panggung internasional, atau ketika startup teknologi kita mampu bersaing dengan raksasa global, saat itulah kita benar-benar menjunjung “bahasa persatuan” dan mengakui “tanah air Indonesia” sebagai rumah yang harus dijaga martabatnya. Mendukung produk lokal, mulai dari UMKM di desa hingga industri kreatif di kota, adalah bentuk nyata dari karya ekonomi yang memutar roda kesejahteraan bangsa.
Ruang digital adalah medan pertempuran gagasan kita saat ini. Pemuda harus menjadi garda terdepan dalam menyebarkan energi positif dan menghentikan laju hoaks yang merusak persatuan. Menjadi influencer bukan hanya tentang ketenaran, tetapi tentang tanggung jawab moral. Karya di ranah digital berarti menggunakan platform untuk edukasi, kampanye sosial, dan mempromosikan toleransi serta nilai-nilai kebangsaan. Ini adalah bentuk pengamalan ikrar “satu bangsa” di tengah hiruk-pikuk jagat maya. Ketajaman argumen kita tidak boleh dipakai untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun diskursus yang sehat dan mencari solusi.
Sumpah Pemuda bukan hanya seremoni tahunan. Ini adalah kontrak moral yang menuntut refleksi mendalam: sudah sejauh mana kontribusi kita? Pemuda tidak boleh lagi hanya menunggu kesempatan, tetapi harus menciptakan kesempatan itu sendiri. Mulailah dari lingkungan terdekat. Jika kita seorang mahasiswa, jadilah pelopor riset yang solutif; jika seorang pengusaha muda, ciptakan lingkungan kerja yang inklusif; jika seorang seniman, gunakan karya untuk mengkritik dan menginspirasi.
Karya sejati adalah yang lahir dari kegelisahan akan kondisi bangsa, dibalut dengan semangat persatuan, dan dieksekusi dengan etos kerja yang pantang menyerah. Dengan kedalaman gagasan untuk memecahkan masalah bangsa, gaya bahasa yang mampu menyentuh dan menggerakkan, serta kesesuaian tindakan dengan semangat Sumpah Pemuda, kita bisa mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Mari kita jadikan Hari Sumpah Pemuda sebagai tonggak untuk tidak hanya berkata-kata, tetapi untuk berkarya. Sebab, masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memimpin, tetapi oleh seberapa besar karya nyata yang diukir oleh setiap pemuda-pemudinya. Pemuda berkarya, Indonesia berjaya!


















