Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kemajuan teknologi, sebuah gagasan segar muncul dari Denny JA, Ketua Umum Satupena Pusat, saat menutup Rapat Anggota Tahunan Satupena 2025. Ia menyampaikan ide yang menggugah, bahwa penulis tak cukup hanya menulis, tapi juga harus menjelma sebagai entrepreneur.
Gagasan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Dunia kini tengah berada dalam pusaran revolusi kecerdasan artifisial (AI) yang mengubah lanskap kehidupan, termasuk dunia kepenulisan. Menjadi penulis saja tak lagi menjamin keberlanjutan tanpa disertai kemampuan adaptasi dan inovasi.
Denny JA menekankan bahwa penulis harus membangun ekosistemnya sendiri. Tak sekadar menelurkan karya, tapi juga menyiapkan kanal distribusi, promosi, dan model bisnis yang menjadikan karya bernilai ekonomi. Di sinilah muncul sosok “Penulis Plus Entrepreneur”.
Kecerdasan artifisial memungkinkan proses menulis, editing, desain, hingga distribusi buku dilakukan lebih cepat dan murah. Dengan tools seperti ChatGPT, Canva, dan platform penerbitan daring, penulis independen bisa menerbitkan buku dalam hitungan hari tanpa harus menunggu penerbit besar.
Namun, teknologi hanyalah alat. Ia menjadi berkah jika dikelola secara kreatif. Penulis entrepreneur adalah mereka yang tak hanya memikirkan isi kepala, tapi juga strategi pasar. Ia produsen gagasan sekaligus pelaku bisnis.
Saat ini, kita menyaksikan banyak penulis yang membuka kelas daring, menjual e-book, mengelola kanal YouTube literasi, atau membangun brand pribadi dari karya mereka. Ini membuktikan bahwa literasi dan ekonomi bisa bersinergi jika dijalankan dengan visi.
Penulis entrepreneur tahu bahwa inspirasi butuh saluran. Ia menulis bukan hanya untuk dibaca, tapi juga untuk menjangkau. Karya tidak lagi hanya tersimpan di rak perpustakaan, tetapi juga hadir di marketplace, dibacakan dalam podcast, atau bahkan diadaptasi ke layar kaca.
Lebih jauh, gagasan Denny JA mencerminkan transformasi peran penulis dalam masyarakat. Jika dahulu penulis berada di balik layar peradaban, kini ia tampil sebagai penggerak perubahan sosial dan ekonomi. Ia tidak sekadar mencerdaskan, tapi juga menciptakan ekosistem baru.
Dengan semangat entrepreneur, penulis bisa mandiri dan tidak bergantung pada sistem yang lama. Ia membangun komunitas pembaca, menjalin kolaborasi lintas disiplin, bahkan mengembangkan lini usaha dari tulisannya sendiri.
Gagasan ini tidak menanggalkan idealisme. Justru dengan menjadi entrepreneur, penulis menjaga independensi dan keberlanjutan karyanya. Ia tidak mudah dikooptasi industri besar karena memiliki kendali penuh atas produksi dan distribusi gagasannya.
Era kecerdasan artifisial adalah era kolaborasi antara manusia dan mesin. Hanya mereka yang kreatif dan adaptif yang tetap relevan. Penulis dengan semangat entrepreneur akan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Satupena sebagai organisasi penulis Indonesia mendapat tantangan baru. Tak sekadar menjadi wadah kreativitas, tetapi juga harus menjelma sebagai inkubator kewirausahaan literasi. Pelatihan, mentoring, dan jejaring pasar menjadi keniscayaan.
Gagasan “Penulis Plus Entrepreneur” adalah jalan baru yang menjanjikan. Ia membuka ruang luas bagi penulis untuk tumbuh, berkarya, dan berdaya. Tak hanya menulis untuk dikenang, tetapi juga untuk menghidupi dan menggerakkan masyarakat.
Denny JA telah menabur benih perubahan itu di RAT Satupena 2025. Kini saatnya benih itu kita rawat dan tumbuhkan bersama. Karena menulis hari ini bukan hanya soal kata, tapi juga strategi hidup untuk masa depan. (*)