Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KolomMimbar Mahasiswa

Pertarungan Batin: Mahasiswa vs Orang Tua

×

Pertarungan Batin: Mahasiswa vs Orang Tua

Sebarkan artikel ini
Read Out 7371166 1280
Example 468x60

Oleh: Cherik Ayyash, Mahasiswa Universitas Isalam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta

Saat dia pulang, setelah membereskan barang yang dibawanya, diletakkan di kamar. Selanjutnya bercakap dengan orang tuanya hanya sesekali saja dan tidak lama serta mendalam, seolah basa basi saja. Selanjutnya orang tua beraktifitas sebagaimana biasanya. Dia menyangka, mungkin dia baru datang dan membiarkannya istirahat. Puncak dari prasangka yang dirasakan saat di ruang tamu rumahnya, saat dia sudah beberapa hari di rumah.

Example 300x600

Pada tengah malam, setengah jam lagi hari sudah berganti hari minggu, seorang ayah sambil berbaring di ruang tamu memanggil anaknya, dia ingin membicarakan perilaku anaknya yang sudah menjauh dari nilai-nilai yang pernah di ajarkan olehnya sejak kecil. Di ruang tamu, anaknya duduk bersiap mendengarkan sang ayah membuka suara, hanya mereka berdua. Dia menanyakan anaknya dari mana, tengah malam baru pulang. Anaknya menjawab dari tempat tongkrongan bersama teman-temannya. Sang ayah menimpali, panjang kali lebar membahas pemaknaan waktu yang harusnya digunakan sebaik-baiknya, menyarankan anaknya menjauhkan diri dari kesia-siaan, menyampaikan dosa-dosa pekerjaan rumah yang dilakukan anaknya selama di rumah, di campur dengan petuah tanpa apresiasi, tanpa memikirkan gejolak yang sedang dialami anaknya.

Dia menyampaikan tanpa ada jeda, tanpa memberikan ruang klarifikasi, tanpa penjelasan dari anaknya. Komunikasi berjalan satu arah dengan suara berat dari sang ayah, entah berapa batang rokok yang dihabiskan untuk menunggu anaknya. Hingga akhirnya suara itu tak terdengar lagi, lantaran sang ayah tertidur dengan sendirinya. Sedangkan anaknya, yang menyadari ayahnya tertidur, ditinggalkan ayahnya menuju tempat tidur, sembari menggerutu. Dirinya merasa menjadi tahanan yang di cecar oleh penyidik tanpa dimintai keterangan lebih lanjut. Di kamarnya, dia memikirkan materi yang disampaikan ayahnya tadi.

Anak itu, saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana, hidup di perantauan, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Setelah masa sekolah menengah atas, dirinya memutuskan melanjutkan pendidikan di luar kota. Sejak saat itu, dia tidak mendapatkan didikan langsung dari orang tuanya. Kegiatan bersama keluarga dilakukannya saat dia pulang saja. Namun, waktu dirinya pulang, tidak lama, mungkin paling lama hanya satu bulan. Setelah itu, dirinya melanjutkan lagi perjalanan ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan dan kegiatan lainnya.

Saat jauh dari rumah, dia mendapatkan pelajaran hidup sekian banyak dari orang yang ditemuinya dan lingkungan baru. Mulai dari seni bertahan hidup saat uang tidak ada, menjalin relasi, menjadi pribadi baik untuk bekal sosial dengan orang dan tempat baru. Meskipun sedari kecil sudah ada bekal dari orang tuanya yang diberikan kepada dia. Namun rasa-rasanya materi (pelajaran di masa kecil) yang diberikan orang tuanya perlu adanya penyeimbang dan tambahan dari orang lain dan lingkungan yang dia tinggali saat ini. Setidaknya, saat dirinya pulang, ada waktu berbincang segala hal yang didapatkan di perantauan akan di konfirmasi ulang dan di filter oleh orang tuanya. Sehingga, tidak mentah dan menghasilkan ekstraksi nilai yang nantinya menjadi sebuah sudut pandang yang lain untuk di jalankan sebagai bekal hidup yang akan di jalani anaknya.

Di ruang tamu yang terjadi tidak demikian. Ayahnya tidak membiarkan anaknya untuk mengkonfirmasi ulang pengalaman dan pelajaran yang didapatkan selama di perantauan. Ayahnya lebih bicara pada klaim dan idealitas, tanpa melihat pertumbuhan anaknya selama proses ‘kawah candradimuka’ di luar sana, yang tentunya lebih kejam, dan tanpa pantauan orang tuanya secara langsung. Padahal, baiknya, perlakuan orang tua terhadap anak saat usia yang sedang tumbuh dewasa, bukan lagi soal instruksi tetapi lebih pada sinergi kolaborasi, berdiskusi, meskipun pada waktu tertentu tetap saja akan menggunakan instruksi. Tetapi, pada saat penyampaian instruksi akan lebih diterima setelah melalui proses diskusi.

Dirinya tidak lantas tidur, otaknya berfikir tentang idealitas peran orang tua yang baiknya dilakukan. Apa yang dilakukannya, bagian dari materi yang didapatkan selama di bangku kuliah, dia mempelajari berbagai hal, termasuk ilmu pendidikan keluarga. Sehingga, dirinya banyak berfikir untuk menyadari peran orang tuanya dan dikonfirmasi dengan ilmu yang didapatkan. Sayangnya, tidak terfasilitasi oleh orang tuanya. Namun, mencoba berimbang dan berfikir untuk positif, tidak gegabah dalam mengambil kesimpulan, dengan dirinya yang tidak berada di rumah setelah sekian lama. Tidak tumbuh bersama orang tuanya, tidak mengerti lika-liku yang sedang di alami orang tuanya, tidak menyaksikan menuanya orang tua, dan masih banyak kegiatan yang tidak dilakukan bersama dirinya. Dirinya tidak hadir dalam proses yang ada di rumah sejauh ini, imbas dari kuliah di luar kota. Sehingga masih banyak hal yang perlu diketahui, mengapa orang tuanya tidak memberikan peran yang sebaik-baiknya kepada anaknya. Ada apa, dan bagaimana kejadian yang telah dilalui sejauh anaknya tidak di rumah.

Pikiran itu berputar-putar di kepalanya. Dia membaca dan meresapi pikirannya sendiri, ada apa dan bagaimana keadaan yang ada dirumahnya. Menerka-nerka, tanpa ada referensi detail yang tersampaikan kepadanya. Hanya saja, dirinya mencoba untuk tidak membuat gejolak, tidak ingin merubah tatanan yang berjalan sebagaimana baiknya dengan keadaan yang ada, dirinya tidak memaksakan antara idealitas dan realitas yang ada di rumah. Hanya saja, dirinya masih berfikir, bagaimana dirinya mengkonfirmasi apa yang didapat selama perjalanan hidup diluar rumah. Jika kepada orang tuanya saja tidak menemukan ruang nyaman yang diinginkan. Apakah dirinya yang akan mengkonfirmasi sendiri dari proses yang didapatkannya? Jika demikian, bagaimana jika tidak sesuai dengan harapan dan petuah dari orangtuanya? Otaknya berfikir keras.

Dirinya khawatir, jika di rumah, dirinya berperilaku tidak sebagaimana mestinya sebagai anak, melakukan aktivitas sesuka hati mengerjakan pekerjaan rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah dengan berat hati, bermalas-malasan, jika diperintah tidak langsung dikerjakan menungu orang tuanya marah-marah, mengurangi interaksi dengan anggota keluarga dan dampak yang lainnya. Jika demikian, gejolak energi negatif di rumah akan terjadi, semerbak kebencian saling menimpali, dirinya takut itu terjadi. Mungkin saja, yang disampaikan ayahnya sudah melihat pertumbuhan anaknya. Dia menilai selama anaknya di rumah, segera mengantisipasi hal buruk yang akan terjadi pada anaknya. Tapi bagaimana dengan nasib gejolak yang dialami anaknya yang belum terkonfirmasi?

Sepertinya sudah sampai di ujung perenungannya, dibukalah handphone untuk membuka Instagram. Tibalah pada sebuah postingan akun pribadi dengan latar belakang pawon (dapur) dengan tungku kayu yang menyala, diiringi backsound ceramah, kurang lebih mengatakan, “maafkan segala kesalahan orang tuamu yang masih kurang ilmu. Mereka mengikhlaskan dirinya tidak memiliki waktu datang di majelis ilmu demi memenuhi kebutuhanmu. Orang tua banting tulang dengan usaha kerasnya, demi kebutuhan anaknya, menyekolahkan anaknya,  melakukan apapun untuk mengangkat derajat anaknya. Namun, jangan sekali kali, sebagai anak, dengan kemampuan pengalaman dan keluasan ilmunya, bersikap menyakiti dan menghakimi orang tuanya. Jika terjadi demikian, jangan harap Tuhan rela dengan hidup anak nya. Maka baiknya, dengan kemampuan pengalaman dan keluasan ilmunya untuk tetap berbakti kepada orang tuanya. Wajib”. Tegas, suara itu terdengar dari postingan Instagram.

Seperti tertampar, dia menarik diri untuk menuntut baik dalam perlakuan orang tua kepada dirinya. Meredam ego dan idealitas yang dipegangnya. Lebih pada perubahan sikap dan akan berusaha patuh terhadap perlakuan orang tuanya. Meskipun kadang berbeda dengan materi yang didapatkan di kampusnya. Namun menjadi penting untuk berlaku baik kepada orang tuanya. Dia juga menyadari bahwa hormat dan patuh kepada orang tuanya menjadi kunci kebahagiaan kedepannya. Toh, dirinya juga tidak tahu sampai kapan bisa bersama dengan orang tuanya, kapan lagi waktu yang bisa digunakan untuk berbakti. Dirinya sedang dikejar waktu untuk berbakti, antara dirinya atau orang tuanya yang lebih dulu dipanggil untuk menghadap pada yang maha Abadi. Segera dia matikan handphone nya, berusaha memejamkan mata, sembari berkomat kamit merenungi diri, berharap dapat melonggarkan hati pada orang tua yang mengasihi dari kecil hingga kini.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *