Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia mengenang sosok Raden Ajeng Kartini, pejuang emansipasi perempuan yang pemikirannya melampaui zamannya. Kini, lebih dari seabad sejak surat-suratnya menggema ke seantero negeri, kita hidup di era yang sangat berbeda: era Artificial Intelligence (AI).
Teknologi cerdas kini bukan sekadar alat bantu, tetapi mitra kerja, penasihat, bahkan pengganti di berbagai bidang. Perubahan ini membuka peluang besar bagi perempuan Indonesia, sekaligus tantangan yang tak kecil.
RA Kartini dikenal sebagai perempuan yang sangat peduli terhadap pendidikan, terutama akses bagi kaum perempuan. Dalam dunia AI, pendidikan tetap menjadi kunci utama agar perempuan tidak tertinggal dalam arus transformasi digital.
AI telah merevolusi dunia kerja, dari industri kreatif, kesehatan, hingga pertanian. Jika dahulu Kartini memperjuangkan hak untuk belajar membaca dan menulis, maka kini perjuangan itu bertransformasi menjadi akses literasi digital dan literasi data.
Pertanyaannya, apakah semangat Kartini masih relevan di era ketika algoritma menggantikan intuisi dan mesin mengalahkan kekuatan manusia? Jawabannya: sangat relevan, bahkan semakin penting.
Kartini bukan hanya simbol perempuan yang cerdas, tetapi juga berani mengambil sikap terhadap ketimpangan dan ketidakadilan. Di tengah derasnya teknologi, masih banyak perempuan yang belum mampu mengakses AI karena kendala ekonomi, pendidikan, atau budaya.
Kesetaraan akses menjadi isu besar dalam dunia AI. Banyak riset menunjukkan bahwa teknologi seringkali mencerminkan bias gender, karena dikembangkan tanpa partisipasi cukup dari perempuan. Semangat Kartini dapat menjadi inspirasi untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam pengembangan AI yang inklusif.
Pendidikan berbasis sains dan teknologi harus menjadi ruang perjuangan baru bagi perempuan. Seperti Kartini yang rajin belajar secara mandiri melalui buku dan korespondensi, generasi perempuan hari ini bisa memanfaatkan platform digital untuk mengakses ilmu pengetahuan.
Namun, tidak cukup hanya menjadi pengguna. Perempuan harus didorong untuk menjadi pencipta teknologi, penulis kode, dan arsitek kecerdasan buatan yang etis dan adil bagi semua. Di sinilah peran negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat menjadi sangat krusial.
Penting untuk mengembangkan kebijakan afirmatif yang mendorong partisipasi perempuan dalam STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Karena semakin banyak perempuan di ruang inovasi, semakin besar peluang lahirnya solusi yang berperspektif keadilan.
Kartini muda di era AI adalah mereka yang tak takut bersaing dalam dunia digital, tetapi tetap membawa nilai-nilai luhur: keadilan, kemanusiaan, dan kebijaksanaan. Dalam situasi yang serba otomatis, empati dan suara perempuan menjadi penyeimbang kemajuan.
Perempuan di pedesaan juga tak boleh tertinggal. Program pemberdayaan berbasis AI bisa diarahkan untuk membantu petani perempuan, UMKM perempuan, hingga ibu rumah tangga agar lebih produktif. Dengan teknologi, kesenjangan bisa dipersempit jika dirancang dengan hati-hati.
Di satu sisi, AI juga membawa ancaman baru bagi perempuan: eksploitasi data, kekerasan berbasis digital, hingga stereotip dalam media algoritmik. Maka, kesadaran kritis perlu ditanamkan sejak dini, agar perempuan tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berdaya mengontrolnya.
RA Kartini pernah berkata, “Habis gelap terbitlah terang.” Dalam konteks kekinian, terang itu bisa diwujudkan dengan memanfaatkan AI secara etis dan inklusif. Bukan sebagai alat dominasi, tetapi sebagai jembatan menuju dunia yang lebih setara.
Generasi muda perempuan harus disiapkan tidak hanya sebagai pekerja, tapi juga sebagai pemimpin dalam revolusi digital. Seperti Kartini yang berani menyuarakan gagasannya kepada Belanda, perempuan kini harus berani menyuarakan ide dan inovasinya ke dunia global.
Hari Kartini adalah momen refleksi, bukan sekadar seremoni memakai kebaya. Di era AI, memperingati Kartini berarti menghidupkan kembali semangat belajar, semangat berpikir kritis, dan semangat memperjuangkan hak perempuan dalam ruang digital.
Sudah saatnya kita memiliki lebih banyak “Kartini Digital” yang bukan hanya piawai menggunakan teknologi, tetapi juga bijak mengarahkan teknologi untuk kebaikan bersama. Mereka yang mampu memimpin dengan integritas dan berkontribusi nyata dalam dunia yang terus berubah.
RA Kartini di era Artificial Intelligence bukanlah nostalgia masa lalu, tetapi inspirasi yang terus tumbuh. Semangatnya menjelma dalam tiap langkah perempuan yang belajar, berkarya, dan mencipta di ruang digital yang semakin luas.