Oleh: Muhammad Fazli Ishaqy, Santri-Murid Kelas VIII SMP Alam Nurul Furqon Rembang
Hari Buku bukan hanya hari untuk mengenang benda bernama “buku” semata. Lebih dari itu, Hari Buku adalah momentum refleksi tentang hubungan kita dengan pengetahuan, literasi, dan budaya membaca. Di tengah dunia yang serba cepat, instan, dan dipenuhi informasi dari berbagai arah—buku tetap menjadi media yang paling kokoh dan mendalam dalam membentuk cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak seseorang.
Buku bukan sekadar kumpulan kata. Ia adalah warisan peradaban. Dari lembar demi lembar, kita bisa merasakan suara masa lalu, menyentuh pemikiran para tokoh besar, mengembara dalam kisah-kisah penuh imajinasi, dan menyerap ilmu yang mengubah dunia. Buku memberi ruang untuk berpikir kritis, menumbuhkan empati, dan memperluas cakrawala seseorang. Bahkan di zaman teknologi seperti sekarang, buku masih menjadi fondasi pendidikan dan pengembangan diri.
Namun, sayangnya budaya membaca di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Menurut berbagai survei, minat baca masyarakat kita tergolong rendah. Ini bukan berarti orang Indonesia tidak suka belajar, tapi bisa jadi karena akses terhadap buku masih terbatas, fasilitas perpustakaan belum merata, atau karena sistem pendidikan kita belum sepenuhnya mendorong rasa ingin tahu secara alami.
Terlebih lagi, gempuran media sosial dan hiburan digital sering membuat membaca buku terasa “berat” atau kalah saing dalam hal hiburan instan. Oleh karena itu, Hari Buku seharusnya tidak berhenti pada perayaan simbolis saja. Kita harus menjadikannya sebagai ajakan kolektif: menghidupkan kembali semangat membaca, memperluas akses terhadap buku, dan menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuhnya minat baca sejak usia dini.
Peran keluarga, sekolah, dan komunitas sangat besar dalam hal ini.Kita juga harus menghargai para penulis dan pegiat literasi yang terus berkarya, menulis, dan memperjuangkan keberadaan buku di tengah berbagai keterbatasan. Menulis buku di era sekarang adalah bentuk keberanian—karena mereka sedang berusaha menyampaikan gagasan di tengah dunia yang kebanyakan lebih suka “scroll” daripada membaca dalam-dalam.
Akhir kata, Hari Buku adalah pengingat bahwa membaca bukan hanya aktivitas intelektual, tapi juga tindakan revolusioner. Buku punya kekuatan untuk mengubah cara pandang seseorang, dan pada akhirnya, mengubah nasib sebuah bangsa. Mari kita rayakan buku bukan hanya hari ini, tapi setiap hari, dengan satu kebiasaan kecil: membaca, meski hanya beberapa halaman sehari. Merayakan buku, merayakan ilmu.