Oleh: Badrus Zaman MPd.I, Dosen UIN Salatiga
Generasi Z dan Alpha tumbuh di tengah derasnya arus digitalisasi, globalisasi, dan pergeseran nilai sosial yang begitu cepat. Mereka lebih akrab dengan layar gawai dibanding dengan buku teks, lebih banyak mengakses informasi dari media sosial daripada forum tatap muka, serta terbiasa dengan budaya instan yang serba cepat. Kondisi ini membawa peluang sekaligus tantangan besar bagi Pendidikan Agama Islam (PAI). Jika PAI tidak bertransformasi mengikuti perubahan zaman, ia akan kehilangan relevansi dan sulit menjawab kebutuhan spiritual, moral, maupun intelektual generasi baru.
Revitalisasi PAI untuk Generasi Z dan Alpha berarti mengubah pendekatan dari sekadar transfer pengetahuan agama menjadi pembentukan karakter religius yang kontekstual. PAI harus menjadi ruang dialogis, bukan hanya ruang doktrinal. Generasi muda yang kritis tidak lagi cukup puas dengan hafalan ayat atau teks; mereka menuntut penjelasan rasional, aplikatif, dan menyentuh realitas kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, guru PAI perlu menghadirkan pembelajaran yang menumbuhkan daya kritis, empati sosial, serta kesadaran spiritual yang relevan dengan tantangan zaman.
Tantangan terbesar datang dari ruang digital. Di satu sisi, internet memberi akses tanpa batas pada sumber-sumber keagamaan yang beragam. Namun di sisi lain, ia membuka pintu lebar bagi infiltrasi paham radikal, intoleransi, dan berita palsu berbasis agama. Revitalisasi PAI harus memasukkan literasi digital keagamaan, yaitu membekali siswa dengan kemampuan memilah informasi, membedakan kebenaran dari manipulasi, serta menjadikan teknologi sebagai medium dakwah yang sejuk dan damai.
Revitalisasi juga harus menyentuh aspek metodologi. Proses pembelajaran tidak lagi bisa mengandalkan metode ceramah satu arah. Generasi Z dan Alpha lebih responsif terhadap metode interaktif: diskusi, debat terarah, simulasi kasus, hingga pemanfaatan media kreatif seperti podcast, vlog, atau game edukasi. Guru PAI dituntut menjadi fasilitator kreatif yang mampu memadukan nilai religius dengan teknologi pembelajaran modern, tanpa kehilangan substansi moral Islam yang penuh rahmah.
Lebih jauh, PAI harus memulihkan perannya sebagai benteng moral di tengah krisis etika yang melanda generasi muda. Fenomena perundungan digital, hedonisme, dan menurunnya rasa hormat terhadap otoritas adalah tanda bahwa pendidikan karakter belum sepenuhnya berhasil. Revitalisasi PAI menuntut keberanian untuk mengintegrasikan nilai tasamuh (toleransi), adl (keadilan), dan ukhuwah (persaudaraan) ke dalam seluruh aspek kurikulum, sehingga peserta didik tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga arif dalam bersikap sosial.
Revitalisasi PAI untuk Generasi Z dan Alpha pada akhirnya bukan sekadar wacana kurikulum, tetapi gerakan budaya. Keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara harus bersama-sama menjadikan PAI sebagai wahana pembentukan manusia paripurna: religius, berakhlak mulia, melek digital, serta adaptif menghadapi dunia yang terus berubah. Jika hal ini berhasil, maka PAI akan menjadi fondasi kuat bagi lahirnya generasi yang tidak hanya beriman dan bertakwa, tetapi juga mampu membawa nilai-nilai Islam sebagai solusi atas krisis kemanusiaan global.