Oleh: Muhamad Akmal Ali Wafa, Mahasiswa KPI UIN Salatiga
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Ia dikenal sebagai pemuda yang selalu tampak termenung.
Orang-orang desa sering berkata, “Rama terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Hidup ini sederhana, mengapa harus rumit?”
Tapi Rama tak pernah merasa puas hanya dengan rutinitas sehari-hari. Ia selalu merasa ada sesuatu yang hilang yaitu sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Suatu pagi yang cerah, Rama memutuskan untuk meninggalkan desanya. Ia berkata kepada ibunya, “Aku ingin mencari makna hidup, Bu. Aku tidak tahu kapan aku akan kembali, tapi aku yakin perjalanan ini penting.”
Sang ibu hanya mengangguk, meski dalam hatinya ada kekhawatiran yang mendalam.
Rama berjalan kaki melewati hutan, melewati sungai, hingga akhirnya tiba di sebuah kota kecil. Di sana, ia bertemu seorang pedagang tua bernama Pak Raji. Pak Raji memiliki warung kecil yang menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Rama mulai bekerja di warung itu untuk menukar tenaga dengan makanan dan tempat tinggal.
“Apa yang kau cari, anak muda?”
tanya Pak Raji suatu malam saat mereka duduk di depan warung, ditemani secangkir teh hangat,” kata Pak Haji.
“Aku mencari makna hidup, Pak,”
jawab Rama dengan mata berbinar. Pak Raji tersenyum tipis.
“Dan kau pikir kau akan menemukannya di luar sana? Kadang, jawaban yang kau cari sudah ada di depan mata, hanya saja kau terlalu sibuk melihat ke tempat lain.”
Rama merenungkan kata-kata itu, tapi ia merasa belum puas. Ia melanjutkan perjalanannya, meninggalkan kota kecil itu dan berjalan menuju gunung yang menjulang di kejauhan. Di kaki gunung, ia bertemu dengan seorang biksu yang sedang bermeditasi di tepi sungai.
“Apa yang kau cari, anak muda?”
tanya biksu itu tanpa membuka matanya.
“Aku mencari makna hidup,” jawab Rama.
Biksu itu tersenyum, lalu berkata,
“Makna hidup tidak bisa kau temukan di luar dirimu. Ia ada di dalam, menunggu untuk kau pahami.”
Rama merasa bingung.
“Tapi bagaimana aku bisa menemukannya jika aku tidak tahu apa yang harus aku cari?”
“Mulailah dengan melihat dirimu sendiri. Apa yang membuatmu merasa hidup? Apa yang membuatmu merasa berarti?”
Kata-kata biksu itu terus terngiang-ngiang di kepala Rama saat ia melanjutkan perjalanannya. Ia melewati banyak tempat, bertemu banyak orang, dan belajar berbagai hal. Tapi tak satu pun yang benar-benar memberinya jawaban.
Setelah bertahun-tahun berjalan tanpa tujuan yang jelas, Rama memutuskan untuk kembali ke desanya. Ia merasa lelah, baik secara fisik maupun mental. Ketika ia tiba di rumah, ia melihat ibunya sedang menyapu halaman. Wajah tua itu penuh dengan kerutan, tapi senyumnya tetap hangat seperti yang selalu ia ingat.
“Kau sudah pulang, Nak?” tanya ibunya sambil menghentikan sapuannya.
Rama hanya mengangguk dan memeluk ibunya erat-erat. Dalam pelukan itu, ia merasakan kehangatan yang telah lama ia rindukan. Ia menyadari bahwa selama ini ia mencari sesuatu yang sebenarnya sudah ada cinta, hubungan, dan rasa syukur.
Duduk di beranda rumahnya, Rama berkata kepada ibunya, “Bu, aku pikir aku sudah menemukan makna hidup. Itu bukan sesuatu yang jauh atau rumit. Itu adalah hal-hal kecil yang membuat kita merasa hidup setiap hari.”
Ibunya tersenyum dan menatap Rama penuh kasih.
“Kadang, kau harus pergi jauh untuk menyadari bahwa apa yang kau cari sudah ada di rumah.”
Rama hanya tersenyum. Ia merasa tenang untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Perjalanan panjangnya mengajarkannya satu hal penting: makna hidup tidak harus dicari di tempat yang jauh. Ia ada dalam momen-momen sederhana, dalam hubungan dengan orang-orang terkasih, dan dalam rasa syukur atas apa yang sudah dimiliki.
Makna hidup tidak selalu ditemukan di tempat yang jauh atau dalam hal-hal besar. Ia sering kali ada di sekitar kita, dalam hal-hal sederhana yang kita anggap remeh. Hargai setiap momen, dan temukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang membuat hidup berarti.