Oleh: Algazella Sukmasari, S.P.d., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Rembang
Sebagai lelaki, aku paling anti sama hal yang menye-menye. Maksudnya, ayolah. Buat apa memelihara emosi ngga masuk akal seperti itu. Bisa ngga sih kita menghadapinya saja dengan jantan?
Tapi, mungkin, semua pandanganku akhirnya berubah pada suatu momen.
Kalau mau dikatakan dengan dramatis, kami pertama kali bertemu hari Minggu pagi di alun-alun kota. Gerakan tangannya yang luwes kala memainkan wajan bak koki profesional gadungan membuatku berdecak kagum. Cengiran itu tak pernah lepas dari wajahnya.
“Seperti biasa, Mas e?” tanyanya setiap kali aku datang.
“Ah, ya,” sahutku seketika.
Sekali lagi, dia mengangguk sebagai tanggapan. Oh, jangan lupakan cengiran itu. Kurasa aku jadi mulai terbiasa deh.
Sudah itu, aku lantas duduk di dekat pintu masuk demi mengawasi keponakan kecilku dari jauh. Hell! Kalau bukan karena paksaannya, mana sudi aku datang ke mari. Menolak pun leherku jadi korban. Rengekannya benar-benar ampuh meluluhkan orang tuaku. Cih!
Tapi, berkat paksaan itu, aku jadi punya kerjaan. Mengamati cewek-cewek cantik, misalnya. Atau lelaki macho ber-ABS delapan kotak yang bisa jadi motivasiku untuk punya otot bisep seperti itu juga. Yah, minggu pagi adalah waktu bagi orang-orang kota sok sibuk untuk menikmati sedikit ‘hidup’ mereka.
Namun, dari segala kerjaan itu, ada satu hal yang mengusikku. Tentang tukang seblak ini, misalnya. Dia begitu bungkam ketika kutanya kehidupan pribadi, basa-basi saja sih sebenarnya. Atau dia justru muak karena ke-kepo-anku? Mungkin dia pusing kena interview mendadak dengan pertanyaan-pertanyaan absurd.
Ah, sudahlah. Bahuku terangkat tepat dengan kedatangan si mas-mas tukang seblak bersama mangkok yang mengepul.
“Seblak setengah pedas topping bakso sosis. Satunya masih nunggu dulu, Mas e.”
Entahlah itu pertanyaan atau pernyataan. Toh, nyatanya aku manggut-manggut saja. “Iya, Mas,” jawabku sekenanya.
Masih dengan mulut yang separuh mecucu untuk meniup seblak panas, mataku mengikuti kepergian Mas Gigih. Entah motif apa di balik nama itu. Mungkin agar segigih namanya, orangnya pun bisa gigih dalam berjuang menjalani hidup. Ah, apa sih aku ini. Sok berfilosofi.
Sudahlah, lebih baik santap saja seblak setengah pedas yang nikmat ini.
**
Tahu-tahu, ya, begitu. Kami berkenalan, jadi teman, dan aku tak ubahnya pelanggan setia tiap akhir pekan datang. Seblak setengah pedas dan topping bakso sosis.
Akhirnya, aku tahu seberapa gigih perjuangan hidup Mas Gigih. Seolah cerita sinetron, Mas Gigih berusaha menghidupi keluarganya: bapak yang renta, ibu yang renta, dan kakak perempuan yang stres.
Beruntungnya, Mas Gigih masih mau mengenyam pendidikan hingga sekarang dia proses pengerjaan skripsi. Ambil manajemen dia, katanya. Biar bisa buka warung seblak di mana-mana dan membahagiakan keluarga. Ah, mulia sekali cita-citamu, Mas.
Sudah hampir tiga bulan aku jadi pengunjung setia. Menikmati seblak sambil menontoni orang-orang yang lewat di car free day. Apa aku akan ikut jogging? Oh, tentu tidak. Ngapain.
Namun, tiba-tiba saja, warung seblak itu tutup. Sudah dua kali alias dua minggu sudah aku ke sana. Ada apa gerangan Mas Gigih tak berjualan. Mau bertanya, tapi tengsin. Lagipula, bertanya pada siapa? Pada penjual gado-gado di samping warung Mas Gigih?
Aku pun hanya sanggup menelan kecewa ketika datang lagi dan lagi tanpa hasil. Alias tak ada kabar dari Mas Gigih ataupun kenyang perutku oleh seblak buatannya.
Seminggu kemudian, aku datang lagi. Dan warung seblak itu sudah kembali beroperasi. Tapi ….
“Mas Gigih kasih warung ini ke saya, Mas.”
Pasti kata kenapa dan tanda tanya jelas terpampang di wajahku. Karena perempuan muda itu lalu menjawab, “Mas Gigih itu sepupu saya. Saya pikir, saya bakal dikasih kerjaan sama dia. Tahunya malah kayak gini. Langsung dikasih sewarung-warungnya. Keluarganya pun nggak tahu pindah ke mana. Bapak ibu saya mau cari tapi nggak tahu ke mana. Kasihan. Padahal, Mbaknya sakit gila. Budhe Pakdhe saya itu juga sudah tua.”
Gadis itu sesenggukan, mengelap air matanya dengan celemek. Waduh, nangis lagi dia!
“T-terus, Gigih sepupumu itu di mana?” tanyaku mengalihkan perhatian. Biar nggak makin kejer maksudnya.
Gadis itu langsung tersentak. “Lho, Masnya nggak tahu toh?”
“Lhah, tahu apa?”
“Mas Gigih kan sudah meninggal. Sakit TBC.”
Seketika itu juga seblak yang kumakan sambil mengobrol tadi langsung berubah pahit.[*]