oleh: Tri Rahayu, M.Pd., Kepala SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Pamotan Rembang
“Engkau adalah kedua bola mataku. Dengan wajahmu yang anggun, aduhai aku sekonyong-konyong menjadi nirnetra, tak perkasa lagi menatap cahaya. Siapa yang ingin mati sepeninggalmu, biarlah ia mati menemui ajalnya. Aku hanya risau nan terliput haru dengan kepergian elokmu.” (Syair cinta Hasan bin Tsabit)
*
Akrab disapa Abana, Abah Dr. K.H. Mohammad Nasih, M. Si., al-Hafidz. Ialah seorang doktor ilmu politik dan pemerhati pendidikan yang hafal al-Quran, Indonesia. Ia salah satu tokoh cendekiawan yang selalu semangat menggelorakan ribuan pesan tentang esensi politik, gagasan pendidikan, dan 7 tangga kewajiban muslim kepada al-Quran. Ketiga kunci syiarnya tersebut selalu diawali dengan bumbu “cinta” yang biasa dilantunkan olehnya dalam kidungnya berjudul “Mengingat-Mu”. “Mengingat-Mu, Menyebut-Mu, dalam segala keadaan”, begitu ungkapnya di akhir lagu.
Cinta, dalam ragam waktu dan suasana, orang selalu memiliki cara membuktikannya. Ada yang memilih dengan cara menuturkannya, ada juga yang hanya memamerkan dengan tindakannya, bahkan ada yang sekadar memendamnya belaka.
Tapi mungkin kita bisa membuat konsensus bahwa markah cinta selalu bermula dari pengungkapan. Mengutarakan dengan penuh kesadaran di hadapan yang dicinta kemudian selalu menyebut nama tercinta melalui bermacam aksi dan gaya. Kita dapat mengagungkan dengan jalan terus menyebut namanya juga melalui senandung cinta atau karya yang melibatkannya.
Rekam sejarah sudah banyak mencatat model pembuktian cinta lewat pengungkapan dan karya. Tersebutlah Sangkuriang yang begitu dahsyat. Ia dengan gagah berani mendeklarasikan rasa cinta yang menggebu kepada Dayang Sumbi, yang ternyata ibu kandungnya, lalu mencipta telaga indah dari hasil ukiran perlahan pada sebongkah tanah bermedia perahu megah. Tajmahal yang masyhur di Agra (India), pada tiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kecintaan sang raja. Dialah Kaisar Mughal Shah Jahan yang bermaksud terus menyebut nama istrinya meski maut telah mengunci kedua lisannya untuk mengeja bukti cintanya. Bahkan presiden ketiga Indonesia, Pak Habibie, selalu menceritakan dan memuji kebaikan mendiang Ibu Ainun pada setiap kesempatan wawancara. Ternyata banyak cerita akbar di dunia yang menunjukkan penguraian cinta.
Dan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, cinta bagi seluruh alam, jua menunjukkan potret konkret dalam kehidupan. Lewat perjalanan insan mulia, Rasulullah saw. kinasih. Beliau bak simbol seruan cinta sejati di muka bumi. Beliaulah teladan cinta yang selalu mendakwahkan cinta (kebajikan) dan persisten memanggil yang dicinta hingga akhir hayatnya.
Begitulah perlambang cinta yang dicontohkan oleh Allah melalui kehidupan Rasul-Nya. Dalam kesehariannya, Baginda senantiasa menunjukkan raut muka yang menyejukkan di hadapan keluarga, sahabat, dan kaumnya. H.R. Imam At-Tirmidzi mengungkap salah satu cerita tatkala Sang Nabi menampakkan wajah yang cerah gembira hanya karena menyatakan sependapat dengan seorang pengemis yang mengingatkan tata cara menderma. Bahkan Muhammad saw. juga menegur kesalahan dengan jalan yang amat ahsan, yakni dengan tidak berlebihan dalam menyalahkan pelaku pembuat kesalahan. Begitulah citra pribadi penuh cinta selama hidupnya.
Baginda menjalankan amanat utama sebagai pendakwah cinta dengan berliput suka duka. Beliau bukan hanya menegaskan keesaan Allah dan perlunya nilai-nilai moral yang kuat, tetapi juga menceritakan banyak kisah inspirasional dari para nabi pendahulu dan orang-orang beriman, juga berbicara tentang keajaiban surga dan teror neraka. Tentu saja, beliau bisa menyulap perjalanan dakwah yang tidak mudah ini dengan penuh cinta melalui dukungan sahabat, umat, dan terutama kerabat.
Rangkaian misi suci bermandikan keringat, darah, dan air mata selama 23 tahun yang dilalui oleh Rasulullah saw. seolah ditutup melalui butir mutiara khutbah beliau dalam haji wada (bulan ke-10 Hijriyah), “Wahai umatku, kita semua ada dalam kuasa Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan al-Quran. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersamaku.” Pesan beliau ini mempertontonkan pada kita semua bahwa Sang Rasul ajeg menyerukan kebaikan hingga menutup masa baktinya di dunia.
Dialog singkat itu diakhiri dengan pandangan Nabi yang teduh menatap lekat sahabatnya satu persatu. Abu Bakar, sahabat terpercaya, membalas tatapan itu dengan mata berpendar. Umar, Al-Faruq gagah, dadanya naik turun menahan napas dan kabut air matanya. Utsman, pemilik dua cahaya, mengehela napas dalam. Dan Ali, Syabih Harun, menundukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Isyarat kepergian Baginda telah datang. Sepagi itu, rona mentari tak tersambut oleh burung-burung gurun. Alih-alih menambah pesona pagi dengan kicauannya, mereka justru enggan mengepakkan sayapnya. Suasana kala itu membuat banyak raga menerka tentang dekatnya masa perpisahan dengan Rasul saw. Surya kian meninggi, hingga dekat kepergian Sang Nabi untuk selama-lamanya, seluruh sahabat setia berkumpul di rumah Bunda Aisyah ra. Sementara itu, Rasulullah yang sedang terbaring lemah dengan peluh keringat di keningnya tengah berbincang dengan malaikat Jibril lalu Izrail, yang keduanya tidak dikenali oleh Fathimah, penjaga bilik Baginda.
“Jibril, apa hakku nanti di hadapan Allah?”, Nabi bertanya dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat sudah menanti hadirmu,” jawab Jibril. Namun, ternyata Rasulullah belum lega, nanarnya masih penuh kecemasan. “Wartakan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”, “Tenang, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya’,” kata Jibril. Nabiyullah tersenyum. Perlahan Izrail menarik ruh beliau. Kala seluruh tubuh Baginda bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang, badan kian dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi, ternyata lisannya bergetar dan berbisik perlahan, “Ummatii, ummatii, ummatiii….”. Dan Sang Cinta sudah terlelap. Di luar pintu, duka mendalam tengah berlabuh. Tangisan riuh seramai jamaah haji yang sedang membaca kalimat talbiyah.
Sosok penuh cinta lama telah tiada, tetapi kita tidak kehilangan teladan inspiratif dan koneksi personal untuk menjadi pribadi yang luar biasa.