Menyelami Pesan Buya Syafii Maarif (2)
Oleh: Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah)
“Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap,” begitu suara peringatan Buya Syafii yang tegas namun penuh kasih.
Kata-kata ini lahir dari kepekaan sejarah, pengalaman panjang, dan kecintaannya pada keutuhan Indonesia yang majemuk.
Buya menegaskan bahwa kehancuran suatu bangsa tak melulu datang dari ekonomi yang rapuh atau konflik kekuasaan, melainkan dari runtuhnya nilai-nilai toleransi.
Dalam toleransi, terkandung penghormatan pada perbedaan, pengakuan atas keberagaman, dan keinginan hidup berdampingan secara damai.
Indonesia adalah negara plural dengan ratusan etnis, bahasa, dan keyakinan; maka toleransi bukan sekadar pilihan, melainkan syarat utama keberlangsungan.
Ketika toleransi goyah, celah-celah konflik akan terbuka lebar, dan api perpecahan bisa membakar sendi-sendi bangsa.
Buya paham benar bahwa sejarah dunia mencatat keruntuhan peradaban besar dimulai dari kegagalan hidup rukun di tengah perbedaan.
Maka, bagi Buya, toleransi bukan slogan, tapi fondasi moral yang harus dihidupi, dibela, dan dijaga dengan kebijaksanaan.
Ia selalu menolak segala bentuk ekstremisme yang memaksakan kebenaran tunggal dalam soal iman, budaya, atau pilihan hidup.
Sebaliknya, ia menyerukan agar ruang-ruang publik dipenuhi oleh percakapan, bukan permusuhan; oleh pengertian, bukan penghakiman.
Pesan Buya ini terasa begitu relevan di era media sosial yang sering kali memupuk polarisasi dan memperuncing perbedaan.
Ketika orang lebih mudah tersulut emosi daripada membuka ruang dialog, toleransi menjadi korban pertama yang terluka.
Padahal, seperti yang selalu Buya tekankan, keberagaman adalah anugerah, bukan ancaman; dan keragaman adalah kekayaan, bukan sumber permusuhan.
Dalam banyak forum, Buya mengajak umat beragama untuk membangun jembatan, bukan tembok pemisah; memperkuat empati, bukan membakar prasangka.
Ia melihat bahwa kekuatan sebuah bangsa terletak pada kemampuannya mengelola perbedaan secara dewasa dan beradab.
Toleransi dalam pandangan Buya bukan berarti menyamakan semua hal, tetapi menghargai perbedaan dengan sikap saling memahami dan tidak memaksakan.
Kematangan suatu masyarakat tercermin dari sejauh mana mereka mampu bersikap adil kepada yang berbeda.
Buya mengingatkan bahwa tanpa toleransi, demokrasi akan kehilangan jiwanya dan hukum akan kehilangan ruh keadilannya.
Kita menyaksikan bagaimana konflik sektarian, diskriminasi minoritas, dan intoleransi verbal dapat dengan mudah merusak ikatan sosial.
Oleh karena itu, Buya mengajak semua elemen bangsa—dari pemuka agama, tokoh adat, hingga kaum muda—untuk menjadi penjaga nilai-nilai toleransi.
Ia percaya bahwa masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh keseragaman, melainkan oleh kebesaran hati menerima keragaman.
Toleransi harus diajarkan sejak dini, dipraktikkan di ruang-ruang keluarga, sekolah, rumah ibadah, dan media.
Buya ingin bangsa ini menjadi rumah besar yang nyaman bagi semua, bukan milik segelintir kelompok yang mengklaim kebenaran sendiri.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu merayakan perbedaan sebagai kekuatan bersama dalam satu simpul persaudaraan.
Maka, menjaga toleransi adalah menjaga masa depan; melindungi toleransi adalah merawat kehidupan; menumbuhkan toleransi adalah membesarkan cinta.
Pesan Buya Syafii Maarif tentang toleransi adalah pelita di tengah zaman yang rawan disulut api kebencian dan politik identitas.
Ia tidak hanya berbicara, tapi menunjukkan dengan teladan, bahwa menjadi beragama secara benar adalah menjadi manusia yang memuliakan sesama.
Dari kata-kata beliau, kita belajar bahwa toleransi bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral bangsa yang sejati.
Rumah Kayu Cepu, 25 April 2025