Oleh: Rahma Nur Afifah, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
Seiring dengan kemajuan teknologi, masalah ketenagakerjaan akan terus meningkat. Otomatisasi mmeiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi sekaligus menggantikan peran manusia dalam banyak industri, yang membuatnya menjadi subjek kontroversial. Dengan perkembangan ini, ada kekhawatiran tentang pengangguran structural, yang didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja saat ini dengan kebutuhan pasar kerja yang berubah.
Isu ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab penanganan yang tidak tepat terhadap pengangguran structural dapat menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang serius. Oleh karena itu, sangat krusial untuk memahami efek otomatisasi dan mempersiapkan tenaga kerja agar dapat menghadapi peubahan di masa depan. Dengan cara yang tepat, otomatisasi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat. Namun, pencapaian tersebut membutuhkan investasi di sektor pendidikan dan pelatihan, serta kebijakan yang mendukung transisi tenaga kerja.
Otomatisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi seperti AI dan robotika telah mengubah dunia kerja. Mesin sekarang dapat melakukan banyak tugas yang sebelumnya dilakukan oleh manusia dengan lebih cepat dan akurat. Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran tentang kehilangan pekerjaan dan meningkatnya pengangguran struktural, yang terjadi ketika keterampilan pekerja tidak cocok dengan yang dibutuhkan di pasar kerja. Otomatisasi mempercepat perubahan ini dengan meningkatkan permintaan untuk keterampilan seperti pemrograman, analisis data, dan manajemen teknologi, sementara mengurangi kebutuhan untuk pekerjaan manual biasa.
Menurut laporan dari McKinsey Global Institute, otomatisasi diprediksi dapat menggantikan hingga 30% pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2030. Namun, laporan yang sama juga menekankan bahwa otomatisasi memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja baru melalui inovasi dan peningkatan produktivitas. Di Indonesia, sekitar 16 persen dari total jam kerja diperkirakan dapat diotomasikan dengan penerapan berbagai teknologi, berdasarkan skenario midpoint dalam kecepatan penerapan otomasi.
Kebutuhan akan tenaga kerja baru akan tetap ada, terutama akibat peningkatan pendapatan dan pengeluaran di bidang infrastruktur dan sektor lainnya. Dengan mempertimbangkan tren inovasi yang menghasilkan jenis pekerjaan baru, diperkirakan otomasi dapat menciptakan antara 4 juta hingga 23 juta pekerjaan baru menjelang tahun 2030, termasuk 10 juta pekerjaan yang saat ini belum ada.
Selain itu, Forum Ekonomi Dunia (WEF) memperkirakan bahwa hingga tahun 2025, otomatisasi akan menciptakan sekitar 97 juta pekerjaan baru di seluruh dunia. Namun, di saat yang sama, mereka juga meramalkan kehilangan sekitar 85 juta pekerjaan. Ini menegaskan betapa pentingnya peningkatan keterampilan dan penyesuaian keterampilan di era yang terus berubah ini. Otomatisasi harus dilihat sebagai tantangan, bukan ancaman. Kita tidak bisa menghentikan kemajuan teknologi, tetapi kita bisa bersiap menghadapinya.
Penting untuk memastikan pekerja memiliki keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaan baru. Pemerintah perlu berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan yang fokus pada keterampilan abad ke-21. Selain itu, kebijakan yang mendukung inovasi dan kewirausahaan sangat diperlukan untuk membuka lebih banyak lapangan kerja. Perusahaan juga harus memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan karyawan dan berinvestasi dalam teknologi untuk efisiensi kerja. Individu harus proaktif meningkatkan keterampilan mereka melalui kursus, pelatihan, dan pendidikan, serta bersikap fleksibel terhadap perubahan di pasar kerja.
Indonesia telah mencapai tingkat keberhasilan dalam memanfaatkan revolusi digital. Perusahaan seperti Go-Jek dan Grab terus berkembang pesat dan menciptakan berbagai peluang kerja bagi mereka yang menganggur maupun bagi yang bekerja di luar bidang keahlian mereka. Selain itu, perdagangan daring menjadi bukti nyata bahwa kemajuan teknologi mampu membuka lapangan pekerjaan baru. Pada tahun 2022, diperkirakan sektor ini dapat mendukung sekitar 26 juta pekerjaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, setara dengan jumlah pekerjaan penuh waktu. Contoh-contoh ini mencerminkan dinamika kewirausahaan dan kemampuan Indonesia untuk beradaptasi, meskipun saat ini masih berada dalam tahap awal. Masih terdapat banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan teknologi ini ke depannya.
Menghadapi disrupsi akibat otomatisasi memerlukan pendekatan yang strategis dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sistem pendidikan perlu menyesuaikan diri dengan pesatnya perkembangan teknologi, dengan cara memasukkan keterampilan teknis, seperti pemrograman dan analisis data, serta keterampilan lunak, seperti pemikiran kritis dan kreativitas, ke dalam kurikulumnya. Selain itu, program pelatihan vokasi harus diperbaharui, sehingga tenaga kerja siap menghadapi tantangan pasar yang terus berubah. Untuk mendukung hal ini, pemerintah dapat memberikan insentif kepada perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan karyawan mereka agar lebih siap untuk beradaptasi terhadap otomatisasi.
Lebih jauh lagi, penting untuk menerapkan konsep pembelajaran sepanjang hayat dengan menyediakan akses yang lebih luas terhadap kursus online, program mentoring, dan sertifikasi profesional. Untuk mengatasi dampak negatif dari otomatisasi, diperlukan jaring pengaman sosial yang kuat, seperti tunjangan pengangguran dan program pelatihan kerja bagi mereka yang terkena dampak. Pemerintah juga harus merumuskan kebijakan yang mendukung inovasi dan kewirausahaan, sehingga lebih banyak kesempatan kerja dapat tercipta di berbagai sektor yang tengah berkembang.
Kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam menyusun strategi ketenagakerjaan yang efektif. Dialog sosial antara pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil perlu diperkuat untuk mengembangkan strategi yang efektif dalam menghadapi otomatisasi, memastikan semua pihak memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan. Evaluasi dan adaptasi kebijakan perlu dilakukan secara berkala agar responsif terhadap perubahan teknologi dan pasar kerja.
Otomatisasi memang menghadirkan tantangan serius bagi ketenagakerjaan, terutama dalam bentuk potensi pengangguran struktural, tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang tak teratasi. Dengan pendekatan yang proaktif dalam pendidikan dan pelatihan serta kolaborasi antara berbagai pihak, kita dapat mempersiapkan tenaga kerja untuk masa depan yang lebih baik. Penting bagi kita untuk tidak hanya fokus pada dampak negatif dari otomatisasi, tetapi juga melihat peluang yang ada untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih terampil dan adaptif.
Dengan strategi yang tepat, otomatisasi bisa meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan. Kunci keberhasilannya adalah investasi dalam pendidikan dan pelatihan yang sesuai, penguatan jaring pengaman sosial, dan menciptakan iklim inovasi serta kewirausahaan. Pemerintah, perusahaan, dan individu memiliki peran penting dalam proses ini. Jika kita bekerja sama secara proaktif, otomatisasi bisa menjadi pendorong kemajuan, bukan penyebab ketidaksetaraan dan pengangguran. Masa depan dunia kerja ada di tangan kita, dan kita harus mempersiapkannya dengan bijak.