Oleh: Fina Eka Ramadhani Rahma, Mahasiswa UIN Salatiga
Demokrasi tidak melulu tentang politik atau sistem pemerintahan negara saja, tetapi juga diterapkan dalam nilai-nilai kehidupan sehari-hari dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, masyarakat, kampus, dan tentunya di dalam organisasi.
Dari pengalaman saya di lingkungan tempat tinggal saya, yaitu kasus yang sering terjadi di lingkungan RT adalah ketua RT yang sudah menjabat bertahun-tahun tanpa pernah diganti, sehingga proses demokrasi di tingkat desa atau lingkungan tersebut menjadi kurang terasa. Misalnya, ada ketua RT yang sudah memimpin selama lebih dari dua periode masa jabatan, yaitu maksimal 5 tahun per periode dan paling banyak dua periode. Namun, dalam praktiknya, ketua RT tersebut tetap menjabat karena beberapa alasan seperti warga kurang tahu aturan, tidak ada calon pengganti yang berminat, atau sudah menjadi kebiasaan di lingkungan tersebut.
Akibatnya, keputusan di lingkungan RT seringkali hanya berdasarkan pendapat kelompok kecil yang dekat dengan ketua RT, sementara suara mayoritas warga tidak didengar. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan kurangnya rasa demokrasi karena tidak ada regenerasi atau pergantian kepemimpinan yang sehat. Contoh nyata adalah kasus di desa saya di mana ketua RT menjabat puluhan tahun, bahkan sampai meninggal dunia masih menjabat, tanpa ada pemilihan ulang yang transparan.
Padahal, aturan mengharuskan adanya pergantian pengurus RT/RW setelah masa jabatan habis agar ada pembaruan kepemimpinan dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Jika ketua RT sudah habis masa jabatannya, harus segera diadakan pemilihan ketua RT baru sesuai prosedur yang berlaku. Namun, kurangnya partisipasi warga dan dominasi kelompok tertentu membuat proses ini sulit berjalan dengan baik, sehingga demokrasi di tingkat RT menjadi sangat minim dirasakan oleh masyarakat.
Sangat disayangkan, tapi di sisi lain saya sendiri belum bisa ikut andil dalam mengatasi masalah ini. Mungkin di kemudian hari, dengan bekal yang saya cari sekarang ini, saya akan menjadi perantara untuk menyelesaikan dan mengatasi masalah seperti ini.
Selain itu, ada juga pengalaman saya dari lingkup kampus. Cukup mengejutkan bagi saya, mahasiswa baru, yang terbilang awal untuk mengikuti dinamika kampus, terkhusus pada pemerintahan organisasi mahasiswa. Banyak posisi penting di organisasi intra kampus diisi oleh kader “Kuning”. Akibatnya, para pemimpin organisasi mahasiswa kebanyakan berasal dari satu organisasi ini, sehingga suara dari organisasi lain atau mahasiswa yang tidak tergabung di organisasi “Kuning” sulit didengar dengan alasan jika berbeda kubu akan sulit mencocokkan visi misi yang disuarakan.
Fenomena ini disebut demokrasi tunggal karena hanya satu kelompok yang mengontrol jalannya organisasi, bukan berdasarkan kompetisi yang terbuka dan adil. Dominasi organisasi “Kuning” ini terjadi bukan hanya di satu kampus, tapi juga di kampus lain, sehingga membuat organisasi mahasiswa terasa kurang inklusif dan partisipatif bagi mahasiswa umum. Banyak mahasiswa merasa ruang berpendapat dan berkontribusi jadi terbatas karena dominasi ini.
Singkatnya, dominasi organisasi “Kuning” membuat organisasi mahasiswa seperti HMPS, SEMA, dan DEMA jadi “klub tertutup” yang susah dimasuki oleh mahasiswa dari organisasi lain, padahal seharusnya organisasi mahasiswa itu jadi tempat yang terbuka dan demokratis untuk semua.