Oleh: Amalia Dwi Fitrianing Tyas, Mahasiswa KPI UIN Salatiga
Di sebuah desa kecil di Temanggung, hiduplah seorang gadis bernama Sari. Sari adalah anak yang ceria dan selalu menyukai kesenian tradisional, terutama cengklungan, sebuah seni perpaduan antara instrumen, vokal, dan tari yang sering dipentaskan di ladang-ladang pertanian.
Setiap sore, saat matahari mulai terbenam, suara alat musik payung krudhuk dan nyanyian ceria mengisi udara desa.Suatu hari, saat festival cengklungan akan digelar, Sari sangat bersemangat untuk ikut berpartisipasi. Namun, ia mendengar kabar bahwa festival tahun ini akan dihadiri oleh penari terkenal dari kota-kota besar. Karena itu, banyak anak-anak desa mulai merasa minder dan ragu untuk tampil. Mereka khawatir tidak bisa menyaingi penari dari luar kota itu.Melihat teman-temannya yang cemas, Sari berusaha memberikan semangat.
“Teman-teman Kita harus bangga dengan seni kita sendiri! Cengklungan adalah bagian dari budaya kita, dan tidak ada yang bisa menandingi keindahan tradisi kita!” serunya.
Hari festival pun tiba. Semua warga desa berkumpul di lapangan besar yang dikelilingi sawah hijau. Suasana penuh semangat dan kegembiraan dari masyarakat setempat. Sari dan teman- temannya mengenakan kostum warna-warni dan bersiap untuk tampil. Namun, saat mereka melihat penari dari kota, rasa percaya diri mereka mulai pudar.
Ketika giliran mereka tiba, Sari berdiri di depan dan mengingatkan semua orang tentang makna cengklungan—tentang kebersamaan dan keindahan alam yang menjadi inspirasi tarian itu.Dengan semangat membara, ia melangkah maju dan memulai tarian.
Satu per satu, teman-temannya mengikuti langkah Sari. Mereka menari dengan penuh kegembiraan, menggerakkan tubuh mengikuti irama musik sambil tertawa dan bersorak. Penonton pun terpesona melihat penampilan mereka yang tulus dan ceria.
Setelah penampilan selesai, seluruh lapangan bergemuruh dengan tepuk tangan yang meriah. Penari dari kota pun mengakui keindahan tarian cengklungan yang dipersembahkan oleh Sari dan teman-temannya. Mereka menyadari bahwa seni tradisional memiliki daya tarik tersendiri yang tidak bisa ditandingi oleh kesenian modern.
Jadi pesan moral dari cerita ini mengajarkan kita untuk menghargai dan mencintai budaya serta tradisi kita sendiri. Meskipun mungkin terlihat kurang menarik dibandingkan dengan hal-hal baru atau modern, setiap budaya memiliki keunikan dan nilai yang patut dibanggakan.
Keberanian untuk menunjukkan identitas kita adalah kunci untuk menjaga warisan budaya agar tetap hidup dalam generasi mendatang.