Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
BisnisKewirausahaanOpini

Relevansi Studi Hawthrone di Era Digitalisasi

×

Relevansi Studi Hawthrone di Era Digitalisasi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Muhammad Wildan Maulana, Mahasiswa S2 Manajemen Universitas Semarang

Studi Hawthorne merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elton Mayo atau yang dikenal sebagai bapak manajemen hubungan manusia. Penelitian ini dilakukan pada sebuah perusahaan Western Electric di Illinois, Amerika Serikat. Nama Hawthorne diambil dari lokasi penelitian ini yaitu Hawthorne Works. Penelitian yang dilakukan tahun 1920-an sampai 1930-an ini pada awalnya bertujuan untuk meneliti hubungan antara kondisi fisik dengan produktivitas yang dihasilkan pada karyawan pabrik Western Electric. Tapi, ternyata penelitian ini menghasilkan sebuah temuan yang lebih mendalam.

Example 300x600

Elton Mayo meneliti enam karyawan yang bekerja di bagian relay assembly. Mereka dites dengan cara dipisahkan dalam ruangan untuk diteliti secara intensif. Waktu kerja harian, waktu istirahat, dan waktu kerja mingguan mereka dibuat variatif. Kemudian, hasil kerja mereka diteliti secara teratur. Hasilnya, Mayo tidak menemukan hubungan langsung antara kondisi fisik dengan output produktivitas. Para pekerja tetap produktif terlepas apakah perubahan tersebut dilakukan atau tidak.

Mayo justru menemukan bahwa kondisi sosial baru yang diciptakan para pekerja memiliki peran besar dalam meningkatkan produktivitas. Faktor psikologis dan sosial seperti suasana kerja yang mendukung dan perhatian yang diberikan kepada para pekerja berpengaruh signifikan terhadapan kepuasan kerja dan produktifitas. Hingga saat ini, teori yang dihasilkan oleh Studi Hawthorne masih menjadi rujukan dalam memahami perilaku organisasi dalam menghadapi tantangan di era modern.

Di era modern yang ditandai oleh digitalisasi dan globalisasi, konsep-konsep dari Studi Hawthorne tetap relevan dalam beberapa aspek. Salah satu poin penting adalah pengakuan bahwa manusia bukan sekadar alat produksi, melainkan individu yang memiliki kebutuhan sosial dan emosional. Dalam konteks ini, teori Hawthorne mengingatkan organisasi untuk tidak mengabaikan pentingnya hubungan interpersonal di tempat kerja, bahkan dalam situasi yang semakin terotomatisasi. Ketika perusahaan di seluruh dunia mengadopsi teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan dan robotika, teori ini tetap memberikan wawasan tentang pentingnya memperhatikan kesejahteraan mental dan psikologis karyawan. Para pekerja tetap membutuhkan perhatian dan pengakuan, meskipun mereka bekerja di lingkungan yang semakin dipenuhi oleh teknologi.

Namun, relevansi teori ini juga menghadapi kendala ketika diterapkan pada situasi modern. Salah satu tantangan utama adalah perubahan struktur organisasi dan cara kerja akibat kemajuan teknologi. Banyak perusahaan saat ini mengadopsi model kerja jarak jauh atau hybrid yang membuat interaksi langsung antarpegawai menjadi semakin berkurang. Dalam situasi ini, tantangan utama adalah bagaimana menciptakan suasana kerja yang mendukung secara sosial, meskipun hubungan antarpekerja bersifat virtual. Studi Hawthorne menekankan pentingnya interaksi tatap muka dalam meningkatkan produktivitas, namun di era digital, hal tersebut harus dimodifikasi agar sesuai dengan konteks kerja virtual.

Selain itu, kompleksitas tenaga kerja modern juga menambah lapisan tantangan. Jika pada zaman Elton Mayo, studi tersebut dilakukan pada enam pekerja yang homogen dalam konteks budaya dan lingkungan kerja, maka pada zaman modern, tenaga kerja jauh lebih beragam. Perusahaan saat ini memiliki karyawan dari berbagai latar belakang budaya, bahasa, dan keahlian yang beragam. Menerapkan prinsip Hawthorne pada kelompok kerja yang begitu majemuk membutuhkan pendekatan yang lebih fleksibel dan sensitif terhadap perbedaan. Penelitian modern menunjukkan bahwa kebutuhan psikologis dan sosial pekerja dapat sangat bervariasi tergantung pada budaya dan preferensi individu. Oleh karena itu, pendekatan yang diterapkan tidak dapat bersifat seragam seperti yang dilakukan pada masa awal studi.

Kendala lain yang muncul adalah perubahan ekspektasi karyawan terhadap tempat kerja. Generasi pekerja saat ini, seperti generasi milenial dan gen Z, cenderung menuntut lebih dari sekadar perhatian sosial. Mereka juga mengharapkan fleksibilitas, pengakuan, dan kesempatan pengembangan diri yang sesuai dengan nilai-nilai mereka. Studi Hawthorne memang menekankan pentingnya perhatian terhadap karyawan, tetapi pendekatan yang digunakan pada zaman itu tidak cukup untuk memenuhi ekspektasi generasi modern. Perusahaan perlu mengintegrasikan wawasan Hawthorne dengan pendekatan manajemen kontemporer yang lebih berbasis pada pemenuhan kebutuhan personal.

Di samping itu, dinamika pekerjaan di era modern sering kali melibatkan tekanan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan era Elton Mayo. Tantangan ekonomi global, tuntutan untuk terus berinovasi, dan lingkungan kerja yang sering kali penuh dengan persaingan membuat para pekerja menghadapi tingkat stres yang lebih tinggi. Dalam situasi ini, sekadar memberikan perhatian atau menciptakan hubungan sosial yang baik mungkin tidak cukup untuk meningkatkan produktivitas atau kepuasan kerja. Organisasi perlu mengembangkan pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan mental, fleksibilitas kerja, dan keseimbangan kehidupan kerja.

Namun demikian, inti dari Studi Hawthorne tetap menjadi pengingat penting bahwa hubungan manusia adalah pondasi keberhasilan organisasi. Dengan memodifikasi pendekatan yang sesuai dengan konteks modern, teori ini tetap relevan dalam membangun budaya kerja yang sehat dan produktif. Para pemimpin organisasi perlu memahami bahwa meskipun teknologi semakin maju, elemen manusia tetap menjadi pusat dari produktivitas. Adaptasi teori ini untuk konteks modern dapat mencakup penggunaan teknologi yang mendukung interaksi sosial, seperti melalui aplikasi kolaborasi digital, serta menciptakan program pengakuan dan penghargaan yang lebih personal dan bermakna.

Kesimpulannya, Studi Hawthorne tetap relevan di era digitalisasi sebagai panduan dalam memahami pentingnya hubungan sosial dalam produktivitas kerja. Namun, implementasinya membutuhkan penyesuaian yang signifikan untuk menghadapi perubahan zaman, seperti kerja jarak jauh, keberagaman tenaga kerja, dan ekspektasi generasi muda. Dengan memadukan wawasan dengan pendekatan modern, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga manusiawi.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *