Oleh; Imroatun Solekah, S.H., Mahasiswa S2 Hukum UIN Walisongo Konsentrasi Hukum Tata Negara, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo
Pesantren dan masyarakat telah menjadi bagian integral dalam kehidupan beragama di Indonesia. Namun, di balik peranannya sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, pesantren dan masyarakat juga memiliki peran penting dalam politik praktis para elite agama. Politik bagi elite agama merupakan kekuasaan religius, sehingga tujuan politiknya sekedar vested interest masing-masing untuk disampaikan dalam bentuk dakwah agama melalui kemashlahatan ummat. Feudalisme dan kharisma tetap menjadi hal yang dominan untuk digunakan sebagai penguat tempat transformasi nilai-nilai moral dalam masyarakat.
Namun di sisi lain, tujuan berpolitik tidak dapat ditolak karena adanya perkumpulan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kekuasaan untuk mencapai kedudukan dan status sosial. Demi mempertahankan statusnya, mereka para elite agama tetap melakukan mobilisasi politik melalui hal-hal yang menjustifikasi dalil-dali agama.
Selain itu peranan dimulai dari ormas hingga pondok pesantren yang menempatkan kiai sebagai sang panutan dan dianggap paling benar. Persepektif ini sangat fatal diterapkan, karena belum tentu penyampaian para kiai itu benar. Peranan ini sangat memungkinkan berdampak pada akselerasi tercapainya elite agama dalam mobilisasi semua media salah satunya untuk melakukan aksi politiknya demi menginterpretasikan makna politik dalam sebuah komunitas pesantren dan masyarakat untuk mencapai sebuah kepentingan pribadi. Dalam artian umum, peran dan fungsi elite agama dalam memaknai politik islam melalui dunia pesantren terpola dalam tiga hal: menjadi actor sekaligus tim sukses master campaign partai tertentu. Dan juga bisa jadi tim di belakang layar saja. Sekaligus sebagai partisipan yang sangat mendukung dengan cara memberikan restu terhadap calon tertentu.
Pola kepemimpinan structural para elite agama tentu juga berpengaruh terhadap politik islam dalam komunitas pesantren. Kecenderungan terhadap pola kepemimpinan yang diterapkan dalam sebuah pesantren berkombinasi kepemimpinan otoriter, karismatik dan paternalistic. Keterlibatan elite agama dalam berpolitik di kampung juga mengeluarkan tipologi para elite agama sehingga bisa digolongkan sebagai elite agama advokatif, adaptif dan elite agama mitra krisis.
Peran Pesantren dalam Politik Praktis
Pesantren telah menjadi lembaga pendidikan dan keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Dalam konteks politik, pesantren dapat berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat pengaruh politik para elite agama. Dalam hal ini pesantren menggunakan mempunyai beberapa cara dalam politik praktis:
- Pendidikan politik: Pesantren dapat digunakan sebagai sarana untuk mendidik generasi muda tentang nilai-nilai politik dan keagamaan yang diinginkan oleh para elite agama. Melalui pendidikan politik, pesantren dapat membentuk generasi muda yang memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai politik dan keagamaan, serta dapat memperkuat pengaruh politik para elite agama.
- Jaringan Sosial: Pesantren memiliki jaringan sosial yang luas dan kuat, yang dapat digunakan oleh para elite agama untuk memperluas pengaruh politik mereka. Jaringan sosial ini dapat membantu para elite agama untuk meningkatkan pengaruh politik dalam membangun hubungan dengan masyarakat, sehingga para elite agama dapat memperluas pengaruh politik mereka.
- Sumber Daya: Pesantren memiliki sumber daya yang cukup besar, yaitu sumber daya manusia.
Peran Masyarakat dalam Politik Praktis
Masyarakat dapat memberikan dukungan sosial kepada para elite agama melalui beberapa cara:
- Jaringan Keluarga dan Organisasi: Masyarakat memiliki jaringan keluarga dan organisasi yang dapat digunakan untuk menyebarkan informasi dan memobilisasi dukungan.
- Pengakuan dan Legitimasi: Masyarakat dapat memberikan pengakuan dan legitimasi kepada para elite agama sebagai pemimpin yang sah dan berwenang.
- Partisipasi dalam Kegiatan Politik: Masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik yang diselenggarakan oleh para elite agama, seperti kampanye, demonstrasi, dan pertemuan.
Dalam membangun relasi jaringan politik tentunya para elite agama melakukan secara gentle melalui partai politik dan komunitas-komunitas lain. Semua kekuatan diserahkan untuk menjangkau tujuan utama yaitu kekuasaan untuk kemenangan. Jaringan ulama bisa juga diterapkan untuk menyebarluaskan agama terhadap masyarakat kampung pelosok desa melalui beberapa jalur, yaitu struktural dan kultural atau individu dan kelompok. Hal ini bisa terjadi pada lapisan-lapisan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ada dibawah kekuasaan para elite agama.
Dinamika politik membuat adanya perubahan dalam dunia pesantren dan sebuah komunitas islamis. Perubahan social yang pasti terjadi dalam sebuah komunitas maupun pesantren timbul teori change and continuity (perubahan dan berkesinambungan) yang mengakselerasi fakta-fakta terjadi. Dalam suatu hal yang sifatnya high politic maupun tidak bisa juga dikemukakan dalam bentuk justifikasi bahwa politik pesantren merupakan religious power, karena keterlibatan dalam hal dakwah dan pencerahan ummat.