Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Feature

Ketika Logika Bertemu Sihir

×

Ketika Logika Bertemu Sihir

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Fajri Rafly, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menceritakan pengalaman pribadi tentang ketindihan, yang ternyata hanyalah sleep paralysis. Setelah memahami konsep logika mistika yang dikemukakan oleh Tan Malaka, saya berusaha melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih rasional. Jangan sampai saya terjebak dalam logika mistika yang hanya mengandalkan kepercayaan tanpa dasar ilmiah.

Example 300x600

Namun, ada satu pengalaman lain yang masih sulit saya jelaskan dengan logika semata. Sebuah kejadian yang hingga kini membuat saya bertanya-tanya: Apakah sepenuhnya kita bisa mengabaikan hal-hal mistis? Bukankah dalam Al-Qur’an dan hadis juga dijelaskan tentang aspek metafisik yang dapat mempengaruhi kehidupan kita, seperti sihir? Apakah sihir sudah tidak relevan di era modern ini?

Saat masih mondok di pesantren, saya pernah mengalami kejadian yang tidak biasa. Saya adalah anggota pengurus bagian keamanan, bertugas memastikan kedisiplinan santri, termasuk menegakkan aturan larangan membawa ponsel. Suatu malam, ketua kami melakukan inspeksi mendadak, terutama ke kamar santri senior. Benar saja, ia menemukan tiga ponsel yang tergeletak di samping pemiliknya yang tertidur lelap.
Keesokan harinya, tiga ponsel itu diserahkan kepada saya. Selain saya, hanya ketua dan kepala bagian keamanan yang mengetahui keberadaan ponsel tersebut. Kami sengaja merahasiakannya agar tidak bocor ke santri lain, terutama karena salah satu ponsel itu milik seorang pengurus senior yang tak lain adalah teman kami.

Beberapa hari setelahnya, saya jatuh sakit. Kepala saya pusing, tubuh terasa pegal, dan air liur saya keluar berlebihan hingga terus-menerus meludah. Awalnya, saya mengira ini hanya sakit biasa akibat kelelahan. Apalagi, di asrama kami sedang marak wabah campak, sehingga dugaan awal saya adalah terkena gejala awal penyakit itu. Namun, setelah diperiksa di puskesmas, dokter hanya memberi saya obat-obatan umum dan mengatakan saya tidak terkena campak.

Saya mencoba tetap beraktivitas, tetapi malam harinya saya mengalami kegelisahan luar biasa. Pusing semakin menjadi-jadi, dan air liur yang keluar makin banyak. Saya hampir tidak bisa tidur. Saya akhirnya meminum obat penenang tambahan agar bisa beristirahat. Anehnya, keesokan paginya kondisi saya langsung membaik.

Beberapa minggu berlalu, saya telah pulih sepenuhnya. Kebetulan, saat itu jadwal perpulangan bulanan tiba. Santri yang tinggal dekat pondok pulang ke rumah masing-masing, sedangkan yang merantau seperti saya menggunakan jadwal itu untuk jalan-jalan saja. Saya, ketua yang menyita ponsel serta teman saya yang merupakan salah satu pemilik ponsel yang disita, berencana pergi jalan-jalan bersama. Dalam perjalanan, si ketua memberi tahu saya bahwa ia akan mengembalikan ponsel kepada pemiliknya dengan syarat ia tidak mengulangi pelanggaran tersebut.

Ketika ponsel itu dikembalikan, teman saya—si pemilik ponsel—tiba-tiba berkata, “Saya sudah tahu kalian yang menyita HP saya. Ada tiga orang yang mengetahui keberadaannya, tapi yang menyimpannya adalah kamu.” Ia menunjuk langsung ke arah saya.

Saya dan ketua sontak terkejut. Kami penasaran bagaimana ia bisa tahu. Jawabannya mengejutkan. Ia mengaku telah menemui seorang dukun dan membayarnya untuk mengetahui siapa yang menyita ponselnya. Sang dukun mengatakan bahwa ada tiga orang yang mengetahui keberadaan ponsel tersebut, namun hanya bisa menunjukkan siapa yang menyimpannya. Lebih mengerikan lagi, dukun itu memberikan semacam alat santet yang, jika dibakar, akan membuat orang yang menyimpan ponsel itu semakin tersiksa.

Teman saya mengaku bahwa pada malam saya mengalami kegelisahan luar biasa, ia membakar alat santet itu. Ia melihat reaksi saya dan semakin yakin bahwa saya memang yang menyimpan ponselnya.

Sejenak, saya terkejut dan marah. Namun, ia meminta maaf, dan saya memilih untuk memaafkannya saja. Toh itu sudah berlalu. Sejak saat itu, saya percaya bahwa sihir itu ada.

Logika Mistika Tan Malaka dan Pandangan Islam

Tan Malaka dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) menekankan agar manusia tidak terjebak dalam cara berpikir mistis yang tidak rasional. Segala sesuatu harus diletakkan dalam kerangka logika sebelum menerima kebenaran. Dalam konteks pengalaman saya, Tan Malaka mungkin akan mengatakan bahwa sakit yang saya alami bukanlah akibat santet, tetapi lebih kepada faktor psikologis, sugesti, atau bahkan kebetulan. Namun, ia tidak serta-merta menghapus aspek mistika sepenuhnya. Bagi Tan Malaka, mistika bisa menjadi titik awal pencarian kebenaran, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya penjelasan tanpa diuji secara rasional.

Secara ilmiah, ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan kondisi saya. Pertama, efek psikosomatis, yaitu jika seseorang percaya bahwa ia sedang diserang dengan ilmu hitam, pikirannya dapat menciptakan gejala fisik yang sejalan dengan keyakinannya. Tapi, sejak awal, saya tidak pernah berpikir apa yang menimpa saya itu penyebabnya adalah ilmu hitam.

Kedua, stres dan kelelahan, seseorang yang berada dalam tekanan yang cukup tinggi bisa mengakibatkan tubuhnya mengalami gejala yang tak biasa. Namun, saat itu, tak ada aktivitas atau pun beban pikiran yang mungkin menyebabkan gejala fisik pada tubuh saya.

Ketiga, infeksi atau penyakit umum, mengingat saat itu sedang ada wabah campak di pesantren, tidak menutup kemungkinan saya hanya mengalami infeksi virus biasa. Ini mungkin alasan yang paling memungkinan saya alami. Tapi, yang menjadi tanda tanya lagi, bagaimana bisa gelisah parah saat malam hari berbarengan dengan ritual yang dilakukan oleh teman saya?

Dari sini, saya coba pakai perspektif Islam. Dalam Islam, keberadaan sihir diakui dalam Al-Qur’an dan hadis. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah ayat 102, disebutkan bahwa sihir dapat memberikan dampak nyata pada kehidupan manusia. Bahkan, Rasulullah sendiri pernah mengalami gangguan sihir dan kemudian disembuhkan melalui doa dan ayat-ayat perlindungan. Islam mengajarkan bahwa sihir memang ada, tetapi kita juga dianjurkan untuk tidak mudah mempercayainya begitu saja tanpa melihat dari sisi logika dan sebab-akibat yang rasional.

Saya tetap berpegang pada prinsip Tan Malaka untuk tidak terjebak dalam logika mistika. Namun, pengalaman ini juga mengajarkan saya bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan sains saja. Islam sendiri mengajarkan keseimbangan antara keimanan dan akal sehat.

Sihir mungkin ada, tetapi cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan berpikir kritis, tidak mudah percaya, serta memperbanyak doa dan perlindungan diri.
Pengalaman ini membuka pemahaman saya bahwa dunia ini tidak hanya sebatas yang terlihat. Namun, kita juga tidak boleh serta-merta percaya pada segala sesuatu tanpa menyaringnya dengan akal dan ilmu. Logika dan mistika tidak harus bertentangan, melainkan harus ditempatkan pada porsinya masing-masing. Wallahu ‘alamu bi al-shawaab

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Feature

Oleh: Wortelina Aku kira aku akan menjadi orang…

Feature

Oleh: Perempuan Sebalik Tawa Hidup adalah sebuah pilihan….