Oleh: Wortelina
Aku kira aku akan menjadi orang yang paling mengenalmu melalui tawa. Ternyata langit lebih mengenenalmu melalui hampa. Laut lebih mengenalmu melalui senja. Bahkan malam, lebih mengenalmu hanya dengan setitik cahaya. Lalu, apa yang bisa ku-aku kan?
Melupakan adalah jalan pintas bagi mereka yang masih mengharapkan namun belum berdamai dengan kenyataan. Sedang mengikhlaskan ialah jalan bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kerasnya alur kehidupan. Berusaha membuka harapan lain yang mungkin tidak akan terpatahkan.
Hanya ada dua pilihan dalam menjalani drama kehidupan ini, kawan. Antara membuka dan menutup. Membuka peluang untuk bahagia dan menutup peluang duka. Atau juga sebaliknya. Memilih membuka peluang duka dan menutup peluang Bahagia. Ini bukan tentang keberuntungan. Sekali lagi kawan, ini bukan tentang keberuntungan. ini adalah tentang ego dan gengsi yang terkadang terlalu tinggi hingga menyamarkan apa yang kita aamiin-i.
Saat ada yang pergi hari ini, maka esok akan ada yang kembali.
Alur ini tidak pernah terganti. Akan menjadi sulit bagi mereka yang pelit dan akan menjadi mudah bagi merka yang seringkali terhimpit. Karena sekali lagi, drama dan alur ini hanya tentang bagaimana kita mau memberi, bukan menerima.
Seindah dan selembut apapun pamitmu menuju ujung dermaga, perpisahan tetaplah menyakitkan. Kita terbagi menjadi aku dan kamu. Tanganmu melambai, berbolak-balik. Menandakan pergimu esok akan berganti dengan kembali, harapku. Tubuhmu semakin mengecil di pelupuk mata. Tersapu birunya laut sepanjang mata memandang. Menjadi titik hitam kecil. Lalu setelah itu menghilang. Pergi.
Kakiku melangkah. Melawan arah langkahmu di laut sana. Aku kira semua akan baik-baik saja.
Seperti pergi-pergimu yang lalu, yang bahkan sempat kuselingi dengan tawa. Ternyata pergimu kali ini beda. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Setiap langkah memutar hari-hari yang telah lalu. Mengingatkan aku pada langkah kecilku yang selalu tertinggal jauh di belakangmu. Lalu saat langkah kita telah beriringan, aku harus mendongakkan kepala.Menatap bola mata hitam pekat yang selalu meninggalkan rasa penasaran bagi siapapun yang menatapnya.
Benar saja, kau menyimpan begitu banyak cerita yang tidak diketahui semesta. Menyimpannya rapat sepekat bola matamu. Bagaimana mungkin malam tidak diam jika mengetahui kisahmu yang kelam. Semanis senja pun akan menangis menyaksikan ceritamu yang tragis. Purnama akan segera berganti gerhana, saat ia dengar dongeng hidupmu yang tak pernah tersentuh tawa. Tetapi janganlah panggil aku jika tak bisa kubagikan tawa untukmu. Awalnya tatapan tajam. Esoknya bentakan yang memekakkan. Hari berikutnya kau tinggalkan. Tetapi aku tidak pernah menyerah. Biarpun purnama telah berganti untuk kesekian kalinya.
Jika saja aku berbalik arah, aku tidak akan menjumpai engkau membuka kata untuk kali pertama. Awalnya keraguan sangat terdengar dari kalimat pertamamu. Senang? Tentu saja. Bahkan aku sudah mengalahkan malam yang bertahun-tahun lamanya menemanimu dalam keheningan. Namun tak pernah mendengar, apa yang sebenarnya sedang kau rasakan.
Bulan sabit perlahan mulai menghiasi wajahmu di berbagai kesempatan. tatapanmu boleh saja tajam dan menusuk seperti kali pertama bertemu. Tetapi lihatlah! Lengkungan itu sudah berpindah arah 1800. Saat itu, aku merasa menjadi orang yang paling mengenalmu melalui tawa. Merasa bahwa akulah yang telah berbagi tawa denganmu. Mengajakmu membuka peluang bahagia dan menutup peluang duka yang selama ini kau simpan dalam diam.
Betapa perasaan itulah yang harusnya kuenyahkan. Pergimu kali ini bersebab kesalahan. Aku mungkin bisa menghibur diri bahwa pergimu adalah pergi yang menjanjikan kembali. Seperti pergi-pergi yang telah lalu. Apa aku telah gagal menjadi orang yang paling memahamimu? atau justru selama ini aku memang belum benar-benar memahamimu? Belum bisa sepenuhnya masuk dalam duniamu.
Pergi yang kutakuti akhirnya terjadi. Pergi yang tidak menjanjikan untuk kembali. Pergimu kali ini adalah pulang. Benar-benar kembali dalam dunia yang selalu kau idam-idamkan. Membiarku aku terperangkap dalam hari-hari yang selalu ingin mengulang rekam gambar yang telah terabadikan. Tapi apa yang bisa kulakukan? Bukankah peluang hanya selalu ada dua? Antara membuka dan menutup. Aku yang telah membuka, maka kini harus bersiap untuk menutup. Sampai juma, Kalla…