Malam mulai menebarkan sunyinya. Kota yang tadi riuh mulai melemah, suara kendaraan tak lagi seramai siang tadi. Cahaya lampu jalan berpendar redup, seakan ikut lelah menatap manusia yang seharian penuh sibuk berlari ke sana kemari. Di teras belakang kantor organisasi, Bang Kay dan Bang Sat duduk bersandar di kursi tua yang sedikit berderit setiap kali mereka bergerak. Secangkir kopi hitam di tangan Bang Kay masih mengepulkan asap tipis, sementara Bang Sat memainkan layar HP dengan jarinya, menyalakan dan mematikannya tanpa tujuan jelas.
Angin malam berhembus pelan, membelai keheningan. Percakapan mereka pun mengalir seperti sungai yang pelan-pelan menemukan muaranya—tentang perjuangan, tentang organisasi, tentang mereka yang baru seumur jagung sudah merasa menggenggam sejarah.
“Telur-telur berkokok, ayam-ayam pun diam.”
Bang Kay menggumamkan pepatah itu pelan, hampir seperti bisikan yang terbawa angin.
Bang Sat menyeringai tipis, menyesap kopinya dengan mata menerawang. “Lucu, ya. Ada yang baru belajar satu-dua konsep, tiba-tiba merasa lebih paham dari mereka yang sudah bertahun-tahun di lapangan. Baru ikut satu-dua aksi, sudah merasa pahlawan. Baru bikin satu-dua program, sudah mengklaim sebagai arsitek perubahan.”
Bang Kay tersenyum miring. “Yang lebih lucu lagi, mereka merasa harus didengar. Kalau tak setuju dengan mereka, kau akan dibilang tak peka, konservatif, atau bahkan pengkhianat perjuangan. Padahal, mereka tak sadar kalau jalan yang mereka injak ini sudah ada jauh sebelum mereka bisa berteriak di atasnya.”
Bang Sat terkekeh, menggeleng pelan. “Dulu kita juga begitu, Bang Kay. Mungkin tidak seberisik mereka, tapi kita juga pernah merasa menjadi orang paling penting dalam organisasi. Merasa tanpa kita, segalanya akan hancur. Padahal, semua berjalan tanpa kita sekalipun.”
Keheningan menggantung sebentar. Lampu neon di atas kepala mereka berkelip-kelip, seperti ragu apakah harus terus menyala atau ikut mati saja, tenggelam dalam gelap malam.
Bang Kay memainkan sendok kecil di gelas kopinya, mengaduk tanpa tujuan. “Aku sering berpikir, Sat. Perjuangan ini seperti peternakan ayam. Ayam-ayam yang sungguh bekerja keras bertelur setiap hari, tapi yang paling sering berisik justru telur-telur yang baru menetas. Mereka berkokok keras, seakan dunia harus tahu bahwa mereka ada. Padahal, ayam-ayam tua yang sudah lama bertahan, tetap diam dan terus bekerja.”
Bang Sat terkekeh. “Mereka pikir, semakin keras berteriak, semakin besar kontribusi mereka. Mereka kira sejarah bisa ditulis dengan kata-kata, bukan dengan keringat dan kesabaran.”
Bang Kay menyesap kopinya pelan, membiarkan pahitnya meresap ke dalam pikirannya. “Lucunya, ketika kita diam, mereka yang baru datang akan mengira kita tidak berbuat apa-apa. Ketika kita tak ikut berteriak, mereka menganggap kita sudah kehilangan semangat. Seakan-akan perjuangan ini hanya boleh diukur dari seberapa lantang seseorang berbicara, bukan dari seberapa tekun seseorang bekerja.”
Bang Sat menghela napas panjang. “Begitulah, Bang Kay. Padahal, kalau mereka mau diam sebentar dan benar-benar melihat, mereka akan sadar bahwa mereka bukan yang pertama, bukan yang paling paham, dan—paling penting—bukan yang paling dibutuhkan.”
Di luar, suara jangkrik mulai memenuhi keheningan. Kota hampir benar-benar terlelap. Tapi bagi Bang Kay dan Bang Sat, malam adalah waktu untuk berpikir lebih jernih, menilai ulang perjalanan yang telah mereka tempuh.
“Pada akhirnya,” ujar Bang Kay, “sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling keras berteriak. Tapi siapa yang paling setia bekerja dalam diam.”
Bang Sat tersenyum kecil. “Dan ketika fajar menyingsing, ayam-ayam akan kembali bertelur, sementara telur-telur yang semalam berkokok, hanya akan menjadi bagian dari sarapan pagi.”
Mereka tertawa kecil. Pahit, tapi tak bisa dihindari. Angin malam semakin menusuk, tapi mereka tetap duduk di sana, menatap gelap yang semakin pekat. Besok, dunia akan kembali ribut, perjuangan akan terus berlanjut. Dan mereka? Mereka akan tetap di sini, bekerja dalam diam, tanpa perlu memastikan siapa yang melihat atau mengaku berjasa.
Dari buku “Apologia Aktivis Kampret” oleh Mokhamad Abdul Aziz