Oleh: Muhammad Ikhsan Hidayat, Penikmat Senja.
Selalu ada hal baru dan viral di media sosial terutama TikTok. Satu contoh, yang ramai diperbincangkan beberapa hari terakhir yakni sosok host live batik. Jujur, saya sendiri belum melihat secara langsung momen ketika si host ini melakukan live. Tapi sudah banyak potongan video atau rekaman layar saat host tersebut sedang di live TikTok untuk berjualan. Lewatnya video-video tersebut sebenarnya sudah cukup menggambarkan tentang apa yang sebenarnya terjadi, apalagi ditampilkan juga cuplikan-cuplikan komentar warganet.
Kenapa bisa ramai? Pastinya ada yang menarik dari pemilik akun itu. Apalagi kalau bukan parasnya. Terbukti, tak sedikit warganet menyebutnya tampan dan bikin salting. Atas dasar itulah mas mas ini akhirnya viral. Ditambah lagi dengan berbagai macam jenis komentar terutama netizen perempuan yang kalau dilihat lihat antara lucu dan kasihan sebenarnya. Komentar seperti pujian berlebihan, ajakan menikah, sampai komentar-komentar yang arahnya sudah masuk ke ranah pelecehan verbal, semuanya ada.
Ada istilah catcalling, yang jika didefinisikan, merupakan bentuk pelecehan seksual di ruang publik dan kebanyakan korbannya adalah perempuan. Lantas, bagaimana jika yang terjadi objeknya adalah laki-laki? Bagaimana jika terjadi di ruang digital? Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas lebih lanjut.
Pertama, catcalling itu bukan tentang siapa yang menjadi pelaku atau siapa yang menjadi korban. Ini adalah soal batas. Ini soal rasa nyaman seseorang. Ada yang beranggapan atau melakukan pembelaan dan menyebut bahwa tindakan tersebut hanya bercanda dan tidak serius. Bukankah candaan yang mengarah ke pelecehan itu bisa menyebabkan orang lain tersinggung?
Dalam hal ini, Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UNAIR, Myrtati Dyah Artaria, pernah menyampaikan bahwa orang-orang yang sering berlindung di balik dalih “bercanda”, sebaiknya tidak menjadikan hal-hal bersifat seksual sebagai bahan lelucon.
Kembali ke mas mas live batik. Banyaknya komentar yang diberikan, perempuan berharap bahwa sikap laki-laki saat menanggapi harusnya biasa saja. Namun, di sinilah letak masalahnya. Okelah anggap saja laki-laki kuat, tahan digoda dan harus menerima perhatian yang datang. Namun, yang perlu diingat bahwa semua orang, baik perempuan maupun laki-laki, itu punya hak untuk merasa tidak nyaman.
Semua orang punya hak untuk risih. Semua orang punya hak untuk terganggu apabila diserang dengan komentar-komentar yang melewati batas.
Apalagi, ini terjadi di ruang digital yang jangakauannya begitu luas. Ribuan komentar bisa muncul. Bayangkan, orang yang tadinya niat live untuk berjualan, berubah jadi panggung godaan. Mereka yang benar-benar hendak berkomentar untuk bertanya pun tenggelam. Bertanya ukuran batik, harga, dan bahan, malah tidak sempat terbaca. Jadinya lewat begitu saja. Kalah dengan komentar “Pangku dong mas” dan lain-lain.
Bahkan, ketika ada yang mencoba untuk mengingatkan, malah dibilang “gak asyik” atau “baper” lah. Bentuk perlawanannya hanya dengan “Cuma bercanda kok”. Lagi-lagi, ini bukan soal gender, bukan soal paras. Ini adalah tentang bagaimana kita bersikap di ruang publik. Apapun dan siapapun itu, tetap harus dihormati.
Saya juga sempat memperhatikan beberapa cuplikan-komentar dari perempuan yang menonton live.
Kebanyakan mereka justru mengaku bahwa sejujurnya malu melihat komentar-komentar sesama perempuan. “Asli gue malu jadi cewek”. “Gue ngefans, tapi ini mah keterlaluan. Dia juga kelihatan keganggu.” “Dia ngonten buat jualan. Bukan buat jadi sasaran candaan 18+. Kita gak tahu gimana rasanya digoda terus-menerus sambil dituntut tetap senyum, tetap ramah, tetap profesional.”
Kemudian, kalau ini termasuk strategi marketing, mungkinkah? Jawabannya ya bisa jadi. Tapi, terlepas dari itu, dari fenomena ini, tak sedikit juga dari kaum hawa yang merasa risih. Benar, tidak selayaknya hal seperti ini dinormalisasi.
Karena ketika menganggap ini biasa saja, itu artinya, menoleransi komentar seksis asal sasarannya laki-laki dan ganteng.
Terakhir, entah ini efek FOMO atau ikut-ikutan yang sedang viral, satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jadilah netizen yang tahu waktu, tahu tempat, dan tahu etika. Yuk, jadikan ruang digital yang sehat.