Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Puisi

Aku Akan Memanggilmu Ayu

×

Aku Akan Memanggilmu Ayu

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ilmi Qodtrun Najah

Di antara gurat hujan yang menari di genting waktu,
Kusebut namamu: Ayu—
Laksana kidung dari dermaga tua yang tak lekang,
Di setiap hurufnya tersimpan garam perjuangan.
Kau adalah khatulistiwa yang membelah kerinduan,
Merah-putih di iris nadiku, mengalir jadi nyanyian.

Example 300x600

Di pelataran masjid, di bawah kubah yang menjunjung bulan,
Kita menyepakati janji dengan Bismillah yang gemetar.
Ayu, di sela-sela sajadah yang berbisik pada fajar,
Kau ucapkan Indonesia seperti melantunkan ayat suci:
Dari darah juang, dari debu jalanan yang sakti,
Kita dirangkai Tuhan dari benang-benang pertiwi.

Di tepi Kali Bengawan, di mana lara dan asa berlabuh,
Kita menanam bambu runcing yang kini jadi puisi.
Kau bercerita tentang pahlawan yang gugur di telapak tangan ibu,
Sementara angin membawa nama mereka ke langit biru.
Aku menuliskan syair di daun kelapa yang patah,
Di setiap guratan: cinta yang tak mau jadi pecah.

Di lereng Rinjani, di bawah kabut yang menanggung sejarah,
Kita temukan peta tubuh kita di gua-gua purba.
Ayu, kau adalah prasasti yang terukir di tulang rusukku,
Mengisahkan Sumpah Palapa dan dendam Singasari.
Di sini, di antara lumut dan akar yang merangkul batu,
Cinta kita adalah Gajah Mada yang tak pernah tunduk.

Ketika lonceng gereja di Larantuka berpadu dengan bedug,
Kau seruput kopi pahit di warung yang menggenggam revolusi.
“Lihat. Di retakan cangkir ini tersimpan lagu perang. Di setiap teguk, kita menenggak api dari Bung Tomo.” Katamu
Aku pun menyalakan lilin di altar dada,
Menyanyikan Indonesia Raya dengan suara yang tertahan.

Ayu, di malam ketika laut Jawa mengulum kerinduannya,
Kita berziarah ke makam para resi yang tersenyum dalam tanah.
Kau letakkan sekuntum melati di nisan tanpa nama,
“Mereka adalah puisi yang dibakar tapi tak mau padam” Katamu
Aku memungut pasir, mengisinya ke kantong doa,
Pasir yang kelak akan kita tabur di kuburan sendiri.

Di stasiun tua yang masih menyimpan deru lokomotif zaman,
Kau bisikkan mantra-mantra dari kitab yang koyak:
“Cinta harus seperti bendera—terus berkibar walau tertembak. Iman harus seperti kenari—bernyanyi meski sangkar berkarat.” Katamu
Kita pun mengecup bendera lusuh yang tersimpan di peti,
Merahmu adalah gerilya, putihmu adalah kalbu yang suci.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Puisi

Oleh: Nafidatun Naylia, Siswa SMA Negeri 1 Sulang,…

Puisi

Pikiranku bagaikan lilitan benangDilanda sebuah kebingunganNtah harus berbuat…

Puisi

Bunda, aku di sini…Aku masih sama kala berkata…