Oleh: Gunawan Trihantoro
Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
Di tengah derasnya arus kemajuan teknologi, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana tetap mendidik dengan pendekatan yang manusiawi, relevan, dan bermakna. Salah satu praktik yang masih bertahan di sejumlah sekolah adalah hukuman menulis kalimat secara berulang hingga ratusan kali.
Misalnya, seorang siswa yang lalai menjalankan tugas sebagai petugas upacara dihukum menulis kalimat pengingat sebanyak ratusan kali.
Namun ternyata, tugas sebagai petugas upacara itu diberikan secara mendadak. Tanpa persiapan yang cukup, wajar bila mereka merasa tidak siap atau tidak mampu menjalankan peran tersebut.
Pertanyaannya, apakah hukuman seperti ini masih relevan di era kecerdasan buatan?
Menulis satu kalimat hingga ratusan kali bukan hanya melelahkan, tetapi juga membuang potensi pembelajaran yang seharusnya lebih bernilai. Di balik alasan kedisiplinan, tersembunyi persoalan efektivitas dan dampak psikologis pada siswa.
Hukuman ini pada dasarnya lebih bersifat represif ketimbang edukatif. Anak tidak dilatih untuk memahami tanggung jawabnya sebagai petugas upacara, melainkan hanya menjalani beban administratif yang melelahkan dan berulang.
Padahal, jika tujuan hukuman adalah untuk menyadarkan siswa atas kelalaiannya, maka bentuk hukuman haruslah mengarah pada penguatan karakter dan tanggung jawab. Salah satu bentuk terbaik adalah melibatkan siswa langsung dalam pelatihan menjadi petugas upacara yang baik.
Dengan demikian, siswa tidak hanya menyadari kesalahannya, tetapi juga mendapatkan bekal keterampilan, kepercayaan diri, dan pengalaman langsung yang konstruktif. Hukuman pun berubah menjadi wahana pembelajaran.
Di era Artificial Intelligence, anak-anak kita sudah akrab dengan teknologi yang dapat menyalin tulisan hanya dengan satu klik. Maka, meminta mereka menulis ratusan kalimat berulang terasa tidak hanya usang, tapi juga tidak lagi mendidik secara esensial.
Jika anak hanya dituntut untuk mengulang tanpa makna, bagaimana mereka akan tumbuh menjadi generasi pembelajar kritis dan kreatif? Pendidikan harus adaptif dengan perkembangan zaman dan kebutuhan karakter anak bangsa.
Kementerian Pendidikan, melalui program “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”, mendorong tumbuhnya karakter positif, seperti jujur, bertanggung jawab, peduli, santun, dan mandiri. Hukuman menulis berulang tampaknya tidak berkontribusi signifikan terhadap pembentukan karakter-karakter tersebut.
Sebaliknya, pendekatan edukatif yang melibatkan anak dalam refleksi, dialog, dan pelatihan peran justru lebih selaras dengan semangat tersebut. Anak tidak hanya dihukum, tapi sekaligus ditumbuhkan.
Sudah saatnya dunia pendidikan berpindah dari pola pikir menghukum ke pola pikir menumbuhkan. Bukan dengan keras, tapi dengan cerdas. Bukan dengan sanksi, tapi dengan stimulasi pembelajaran.
Alih-alih menulis ratusan kali, mengapa tidak memberikan proyek mini seperti membuat catatan refleksi, membuat vlog tentang pentingnya disiplin, atau membimbing adik kelas menjadi petugas upacara? Semua itu bisa menjadi hukuman yang lebih positif dan mendidik.
Pendidikan yang bermakna tidak akan lahir dari ketakutan, melainkan dari pengalaman belajar yang menyentuh hati. Hukuman pun harus menjadi bagian dari proses belajar, bukan sekadar bentuk pelampiasan atas kesalahan.
Jika kita ingin membentuk anak Indonesia hebat, maka setiap langkah dalam proses pendidikan harus diarahkan pada pembentukan karakter dan kompetensi yang sejati. Termasuk cara kita memberikan hukuman.
Mari kita koreksi cara-cara lama yang tak lagi relevan. Di era AI ini, saat teknologi berkembang pesat, pendidikan pun harus ikut berkembang -lebih kreatif, reflektif, dan transformatif.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal menghukum, tapi soal menumbuhkan. (*)