Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kolom

Narasi Ulang Sejarah Indonesia: Revisi, Refleksi, atau Rekayasa?

×

Narasi Ulang Sejarah Indonesia: Revisi, Refleksi, atau Rekayasa?

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Aditya Hasiholan Purba, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi

Munculnya wacana penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Fadli Zon, kembali memunculkan perdebatan. Frasa “meluruskan sejarah” yang digunakan oleh pemerintah, meski terdengar netral, memuat kompleksitas yang jauh lebih besar daripada sekadar penulisan ulang teks sejarah. Revisi sejarah bukanlah semata-mata urusan akademik; ia menyentuh tentang bagaimana bangsa ini memandang masa lalunya, identitasnya, serta bagaimana peristiwa masa lalu digunakan untuk mengarahkan masa depan politik Indonesia.

Example 300x600

Sejarah selalu menjadi medan bagi pertarungan ideologi dan narasi. Sejak Orde Baru, negara telah mengontrol narasi sejarah dengan menyaring dan mereduksi peristiwa-peristiwa tertentu untuk menciptakan narasi tunggal yang sesuai dengan kepentingan rezim saat itu. Dalam konteks ini, sejarah sering kali diposisikan sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan sebagai refleksi kolektif atas masa lalu. Peristiwa 1965, misalnya, disampaikan dengan satu perspektif yang sempit, mengabaikan pengalaman kelompok-kelompok korban dan alternatif interpretasi lainnya.

Kini, dengan niat pemerintah untuk “meluruskan” sejarah, pertanyaan besar muncul: siapa yang dimaksud dengan “lurus,” dan apa tujuan yang sebenarnya ingin dicapai dengan revisi ini? Apakah ini bentuk koreksi ataukah justru usaha untuk menegakkan satu versi kebenaran yang baru, yang mungkin lebih menguntungkan posisi politik tertentu?

Politik di Balik Penulisan Sejarah: Mencari Keadilan atau Menciptakan Kepentingan

Sejarawan Indonesia, seperti Asvi Warman Adam, telah lama mengingatkan kita bahwa banyak bagian dari sejarah Indonesia yang masih dianggap sebagai “blank spots” bagian yang tak terungkap, sengaja dilupakan, atau bahkan disembunyikan. Di sinilah pentingnya revisi sejarah. Namun, revisi ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan menggunakan prinsip-prinsip akademik yang solid. Sejarah tidak bisa hanya disusun berdasarkan kehendak kekuasaan yang sedang berlaku.

Masalah muncul ketika proyek penulisan ulang sejarah dikendalikan oleh pihak yang memiliki agenda politik tertentu. Apakah proyek ini akan mengarah pada penciptaan ruang untuk narasi alternatif, atau justru memperpanjang monopoli narasi yang sudah ada? Sejarah yang ditulis ulang dalam kerangka ideologi yang sempit berisiko menjebak kita pada sejarah yang tidak lengkap, dan lebih parahnya, sejarah yang dimanipulasi.

Sebagai contoh, Taufik Abdullah, seorang sejarawan terkemuka, menegaskan bahwa “Sejarah bukanlah cerita yang indah, tetapi hasil dari proses dialektika dan negosiasi.”

Pernyataan ini menggugah kita untuk menyadari bahwa sejarah bukanlah kisah yang bisa dituliskan secara sepihak. Proses penulisan sejarah harus mengakomodasi beragam perspektif dan perdebatan.Menghindari Monopoli SejarahSalah satu bahaya utama dari proyek penulisan ulang sejarah yang terpusat adalah potensi terjadinya monopoli narasi. Sejarah yang ditulis oleh satu pihak, tanpa ada keterlibatan aktif dari berbagai elemen masyarakat, berisiko untuk dijadikan alat pengukuhan kekuasaan yang tidak adil. Sejarah harus menjadi ruang terbuka, bukan ruang yang disesuaikan hanya untuk memuaskan kepentingan politik tertentu.

Benedict Anderson, dalam karya monumentalnya Imagined Communities, menyebutkan bahwa sejarah adalah konstruksi sosial. Sejarah bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sesuatu yang dibentuk oleh individu, kelompok, dan negara. Jika konstruksi ini hanya dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok, maka narasi yang tercipta bisa kehilangan dimensi keadilan dan keberagaman.Untuk itu, penulisan ulang sejarah harus melibatkan berbagai pihak: sejarawan, akademisi, kelompok korban, masyarakat sipil, dan tentu saja, suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Hanya dengan cara ini sejarah dapat menjadi alat rekonsiliasi, bukan sekadar alat legitimasi.

Sejarah yang Kritis dan Partisipatif Sebagai Langkah Menjaga KebenaranPada titik ini, kita dihadapkan pada pilihan penting. Apakah revisi sejarah akan menjadi peluang untuk menciptakan pemahaman yang lebih utuh tentang masa lalu, ataukah justru berisiko menjebak kita dalam narasi yang lebih sempit dan terkontrol? Revisi sejarah harus dilakukan dengan cara yang partisipatif, melibatkan masyarakat luas, dan dengan akuntabilitas yang tinggi.

Proses penulisan sejarah yang sehat bukanlah proses yang menghindari perbedaan pendapat, melainkan proses yang memungkinkan dialog dan perdebatan. Sejarah yang jujur tidak perlu takut terhadap konflik atau kontroversi, karena sejarah yang sesungguhnya adalah sejarah yang hidup dengan semua ketegangan dan keragaman perspektif yang melekat padanya.

Jika kita ingin maju sebagai bangsa, kita membutuhkan sejarah yang jujur dan terbuka. Sejarah yang memungkinkan kita untuk tidak hanya mengenal kesuksesan kita, tetapi juga kesalahan dan pelajaran yang bisa dipetik darinya. Sejarah yang memberi tempat bagi semua ingatan, baik yang menyakitkan maupun yang membanggakan, adalah sejarah yang akan membawa bangsa ini ke arah kemajuan yang lebih inklusif.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kolom

Oleh Gunawan TrihantoroSantri dari KH. Hasan Basri Di…