Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd., Guru di MIS AR-RAUDHOTUN NUR Garut
Di antara banyaknya profesi yang menghiasi penjuru negeri ini, mungkin hanya profesi guru yang menjadi akar dari lahirnya berbagai profesi lain. Dalam sunyinya ruang kelas dan sederhananya papan tulis, guru berdiri sebagai pemantik cahaya bagi masa depan. Ia bukan hanya mengajarkan aksara dan angka, tetapi juga membentuk karakter, memupuk mimpi, dan menanamkan nilai-nilai luhur kehidupan. Wajar kiranya, jika banyak orang yang mengatakan bahwa guru adalah profesi yang mampu mencetak seribu profesi.
Dari tangan kasar seorang guru, lahirlah orang-orang hebat seperti dokter, insinyur, pengusaha, pemimpin bangsa, bahkan para pendidik baru yang akan meneruskan estafet peradaban. Ironisnya, dalam hiruk pikuk pencapaian murid-muridnya, seorang guru tetaplah menjadi guru. Ia tidak mencari gelar yang megah, atau posisi yang tinggi, melainkan menyalakan lentera harapan agar setiap anak didiknya bisa menggapai cita-cita mereka, walaupun terkadang ada sisi dunia yang ikut menertawakan bahkan menyepelekan setiap mimpi besar mereka.
Akan tetapi, kemuliaan itu sering kali tidak sebanding dengan kenyataan yang mereka hadapi. Di balik predikatnya sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, masih banyak guru yang harus bergelut dengan kerasnya hidup. Terutama mereka yang masih berstatus honorer dengan gaji yang jauh dari kata layak. Banyak dari mereka terpaksa menjalani pekerjaan tambahan seperti menjadi ojek online, berjualan di pasar, bahkan memulung barang bekas demi menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga. Semua itu dijalani dengan diam dan tabah, sembari tetap tersenyum di depan murid-muridnya.
Menjadi guru bukanlah sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia bangsa. Sehingga seorang guru dituntut untuk tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, melatih, mengarahkan, menilai, dan mengevaluasi, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun lebih dari itu, guru juga berperan sebagai orang tua kedua bagi murid-muridnya. Ia harus memberikan kasih sayang, perhatian, bahkan menjadi tempat bersandar ketika siswa menghadapi kesulitan dalam kehidupan mereka.
Namun dalam kesehariannya, guru sering kali harus mengesampingkan kepentingan pribadinya. Di saat orang lain mengejar target finansial dan jenjang karir, guru justru sibuk memikirkan bagaimana caranya membuat anak-anak memahami materi yang ia ajarkan. Di saat orang lain beristirahat di akhir pekan, banyak guru yang masih menyusun perangkat ajar, menilai tugas, atau menyiapkan ujian. Sayangnya, segala kerja keras itu sering kali tidak mendapatkan penghargaan yang sepadan. Sehingga profesi guru kini menjadi salah satu profesi yang tidak dijadikan sebagai sebuah cita-cita, terutama bagi para generasi muda. Mengingat minimnya kesejahteraan bagi seorang guru, khususnya guru honorer.
Isu tentang kesejahteraan guru bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun, masalah ini menjadi luka yang terus menggema dalam sistem pendidikan Indonesia. Meski ada beberapa upaya dari pemerintah untuk memperbaiki, seperti tunjangan profesi guru dan pengangkatan ASN/PPPK, namun kenyataannya masih banyak guru yang hidup dalam garis ketidakpastian. Guru honorer di daerah terpencil, misalnya, masih banyak yang digaji di bawah upah minimum, bahkan harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima hak mereka. Sementara itu, tanggung jawab dan beban kerja terus bertambah seiring dengan berbagai tuntutan administratif dan target kurikulum. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin guru dapat maksimal dalam mendidik generasi penerus bangsa. Lebih menyakitkan lagi, citra guru sering kali terdistorsi oleh stigma dan prasangka dari sebagian masyarakat. Misalnya di setiap perayaan Hari Guru Nasional, banyak pemberitaan yang beredar bahwa setiap orangtua atau siswa harus memberikan hadiah atau tanda terima kasih yang membuat sebagian pihak berprasangka buruk. Momen apresiasi yang seharusnya menjadi ajang penghormatan, justru dicurigai sebagai ajang mencari keuntungan. Ini jelas merupakan pandangan yang keliru dan menyakitkan. Guru tidak pernah menuntut hadiah, sebab yang mereka harapkan adalah pengakuan, penghargaan, dan sedikit keadilan.
Citra guru yang agung dan penuh wibawa seharusnya tidak hanya sekedar retorika dalam pidato atau selebaran Hari Guru. Ini harus diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak, berkeadilan, dan menjamin kesejahteraan. Sudah waktunya bangsa ini benar-benar memanusiakan guru, sebagaimana guru telah memanusiakan anak-anak bangsa selama ini. Kesejahteraan yang memadai akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan. Guru yang sejahtera akan mengajar dengan hati yang tenang dan penuh semangat. Ia tidak akan terbebani oleh masalah ekonomi, sehingga bisa fokus mendampingi muridnya tumbuh dan berkembang. Kesejahteraan bukanlah bentuk belas kasihan, tetapi hak yang harus dipenuhi oleh negara kepada para pengabdi bangsa.
Lebih jauh lagi, penguatan kesejahteraan juga dapat meredam munculnya stigma negatif dan prasangka buruk terhadap guru. Jika guru sudah hidup layak, maka tidak akan ada lagi alasan untuk menuduh guru sebagai profesi yang memanfaatkan momen atau mengharapkan imbalan dari murid.
Guru itu bukan malaikat, mereka adalah manusia biasa yang punya rasa lelah, punya kebutuhan, dan punya hak untuk bahagia. Mereka bukan hanya butuh pujian saat Hari Guru Nasional, tetapi juga butuh perhatian dan perlindungan sepanjang tahun. Sebab, dari tangan-tangan mereka, lahirlah masa depan bangsa. Sudah saatnya kita berhenti memandang guru hanya dari kacamata romantisme semata. Kita harus mulai melihat realitas yang mereka hadapi dan mendorong perubahan nyata untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Jika kita ingin bangsa ini besar, maka muliakanlah para gurunya. Karena sebagaimana pepatah bijak mengatakan: ”Bangsa yang hebat adalah bangsa yang mampu memanusiakan para pendidik layaknya seorang manusuia.”