Oleh: M. Habibi Syafi’udin, M.Si., Pengamat Intelijen dan Politik
Gelombang demonstrasi yang berlangsung di Jakarta dan delapan kota besar lain pekan ini memberi sinyal jelas tentang meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah. Isu kenaikan PPN 12 persen, kelangkaan elpiji 3 kilogram, efisiensi anggaran yang memicu pemutusan hubungan kerja, hingga ketidakjelasan tunjangan dosen menjadi pemicu protes.
Di media sosial, tagar #IndonesiaGelap menggema, menandai keresahan generasi muda terhadap masa depan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada sembilan bulan pertama pemerintahan Prabowo–Gibran hanya mencapai 4,8 persen, lebih rendah dari target 8 persen. Survei LSI Denny JA juga merekam bahwa 60,8 persen responden merasa lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibanding tahun sebelumnya.
Dampak Ekonomi dan Politik
Situasi global turut memperberat. Kebijakan Amerika Serikat menerapkan tarif impor 32 persen pada produk ekspor Indonesia diperkirakan menghilangkan lebih dari 1,2 juta lapangan kerja dan menekan ekspor sebesar Rp105 triliun. Dampaknya terasa di pasar finansial. Nilai tukar rupiah sempat melemah hingga Rp16.500 per dolar AS, sementara Indeks Harga Saham Gabungan terkoreksi 1,21 persen ke posisi 7.736.
Aksi demonstrasi juga membawa kerugian ekonomi langsung. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut total kerugian infrastruktur akibat kerusuhan mencapai Rp55 miliar, dengan 22 halte Transjakarta rusak dan enam di antaranya terbakar. Sektor ritel kehilangan omzet hingga 50 persen.
Reshuffle sebagai Respons
Di tengah tekanan tersebut, wacana perombakan kabinet kembali menguat. Menurut pengamat intelijen dan politik, M. Habibi, reshuffle kali ini tidak semata respons politik terhadap demonstrasi, melainkan bagian dari kalkulasi strategis berdasarkan informasi intelijen. “Data intelijen menunjukkan, akar ketidakpuasan publik bukan hanya terkait sektor pendidikan, melainkan kegagalan kolektif kabinet dalam mengelola ekonomi,” ujarnya.
Penunjukan akademisi Brian Yuliarto sebagai Menteri Pendidikan dinilai sebagai upaya pemerintah meredam ketegangan dengan kalangan kampus, sekaligus memberi sinyal positif ke pasar. Namun, pengamat menilai, tantangan terbesar tetap berada di sektor ekonomi.
Survei Celios (Center of Economic and Law Studies) awal 2025 mengungkapkan, meski Menteri Pendidikan Satryo bukan termasuk menteri dengan kinerja terendah, sektor ekonomi di bawah koordinasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dianggap gagal mencapai target. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyoroti lemahnya strategi diplomasi ekonomi Indonesia dibanding Vietnam.
Empat Agenda Prioritas
Para pengamat merekomendasikan empat agenda prioritas untuk mendukung efektivitas reshuffle:
1. Menunjuk ekonom berpengalaman dengan reputasi internasional dan orientasi kerakyatan untuk memperkuat arah kebijakan.
2. Melakukan reformasi kebijakan perdagangan dan investasi, agar daya saing Indonesia tidak tertinggal di tengah ketidakpastian global.
3. Memperkuat koordinasi lintas kementerian, terutama di bawah Menko Perekonomian, agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
4. Meningkatkan komunikasi publik, supaya kebijakan tidak memicu kegaduhan sosial, seperti pada kasus elpiji 3 kg dan PPN.
Figur yang Dipertimbangkan
Salah satu figur yang mulai disebut adalah Harvick Hasnul Qolbi, mantan Wakil Menteri Pertanian dan tokoh NU yang dikenal dengan kiprah di ekonomi kerakyatan. Latar belakangnya di bidang teknik industri, pengalamannya membangun Mart NU, serta kiprahnya dalam inisiatif Nahdlatut Tujjar menunjukkan kapasitas manajerial sekaligus pemahaman terhadap sektor riil.
Ujian Kepemimpinan
Reshuffle kabinet kali ini akan menjadi ujian penting bagi Presiden Prabowo. Publik menunggu apakah reshuffle benar-benar mampu memperbaiki arah kebijakan, atau sekadar menjadi simbol politik.
Indonesia berulang kali mampu melewati krisis dengan kepemimpinan yang kuat dan kebijakan yang tepat. Tantangan sekarang adalah bagaimana pemerintah dapat mengembalikan kepercayaan publik sekaligus menjaga keyakinan pasar. Figur dengan kapasitas teknokratik sekaligus berakar pada rakyat kecil diperlukan untuk membawa Indonesia kembali ke jalur pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.