Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KolomOpiniPendidikan

Ketika Penghapus Tak Lagi Hanya untuk Menghapus

×

Ketika Penghapus Tak Lagi Hanya untuk Menghapus

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd., Guru di MIS AR-RAUDHOTU

Belakangan ini, dunia pendidikan dasar kembali diwarnai oleh sebuah fenomena yang unik, sederhana, namun menarik untuk dibahas: maraknya siswa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang menggunakan penghapus sebagai media gangsing. Fenomena ini bukanlah hal baru, namun kembali mencuat dan bahkan menjadi tren di kalangan siswa. Penghapus-penghapus yang sejatinya merupakan alat bantu menulis kini berubah fungsi menjadi mainan populer di sela-sela waktu belajar, istirahat, bahkan kadang kala saat pembelajaran berlangsung. Fenomena ini tentu memancing pro dan kontra. Di satu sisi, ia mencerminkan kreativitas dan semangat bermain anak-anak usia sekolah dasar. Namun di sisi lain, jika tidak dikontrol dengan bijak, bisa menjadi potensi gangguan dalam proses belajar-mengajar. Maka, penting bagi kita selaku guru, orang tua, dan masyarakat pendidikan untuk menyikapi hal ini secara bijak dan proporsional.

Example 300x600

Kita semua tidak bisa memungkiri bahwa bermain adalah dunia utama anak-anak. Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan anak menyebutkan bahwa bermain adalah bagian penting dalam proses tumbuh kembang kognitif anak. Bermain bukan hanya soal kesenangan, tetapi juga media pembelajaran alami bagi anak untuk mengasah kreativitas, kemampuan motorik, serta interaksi sosial. Fenomena penghapus jadi gangsing bisa dilihat dari sudut pandang ini. Anak-anak, dalam keterbatasan akses terhadap mainan modern, mampu menyulap benda sederhana menjadi sarana hiburan. Dengan sedikit modifikasi seperti memotong ujung penghapus, menambahkan paku payung, atau bahkan melubangi tengahnya untuk menciptakan keseimbangan sehingga bisa berputar.

Di tengah era digital yang serba instan dan sering membuat anak-anak terlalu bergantung pada gadget, munculnya tren ini justru bisa menjadi angin segar. Anak-anak menunjukkan bahwa mereka masih bisa bermain secara analog, berinteraksi secara langsung dengan teman sebayanya, tanpa perlu layar atau sinyal internet. Dalam konteks ini, kreativitas mereka patut diapresiasi. Meski terlihat sebagai hal yang sederhana dan wajar, penggunaan penghapus sebagai gasing ini tidak lepas dari risiko. Jika tidak dikelola dengan bijak, kegiatan ini bisa menjadi gangguan dalam proses belajar-mengajar.

Pertama, penghapus yang difungsikan sebagai gasing seringkali digunakan saat pembelajaran berlangsung secara diam-diam. Anak-anak yang seharusnya memperhatikan guru, justru asyik beradu putaran penghapus di bawah meja. Hal ini tentu mengganggu konsentrasi mereka, dan bisa menurunkan efektivitas belajar. Kedua, aktivitas ini bisa memicu konflik antar siswa. Tidak jarang terjadi perselisihan karena penghapus hilang, rusak, atau dipinjam tanpa izin. Seringkali, kompetisi yang awalnya menyenangkan berubah menjadi pertengkaran kecil yang mengganggu ketertiban kelas. Ketiga, secara tidak langsung fenomena ini mendorong perilaku konsumtif. Anak-anak yang semula hanya menggunakan satu penghapus untuk keperluan sekolah, kini berlomba-lomba membeli berbagai jenis penghapus hanya untuk dibuat gasing. Bahkan ada yang sampai membawa banyak penghapus cadangan, atau sengaja membeli penghapus mahal demi bisa menang dalam permainan.

Melihat fenomena ini, pendekatan yang paling bijak bukanlah langsung melarang total penggunaan penghapus sebagai gasing. Larangan tanpa pemahaman hanya akan memicu perlawanan atau justru membuat anak-anak mencari celah-celah untuk bermain secara sembunyi-sembunyi. Yang perlu dilakukan adalah pendekatan edukatif dan persuasif.

Guru memiliki peran penting untuk mengedukasi siswa tentang waktu dan tempat yang tepat untuk bermain. Misalnya, guru bisa menetapkan aturan bahwa permainan penghapus hanya boleh dilakukan saat jam istirahat dan di luar ruang kelas. Di saat bersamaan, guru bisa menyisipkan nilai-nilai positif dari permainan tersebut, seperti sportivitas, toleransi, dan kerja sama.

Lebih jauh lagi, guru bisa memanfaatkan fenomena ini sebagai bagian dari pembelajaran. Bayangkan jika fenomena gasing penghapus ini dijadikan proyek mini dalam pelajaran Sains: siswa diminta mengamati bentuk penghapus, massa, pusat gravitasi, dan kecepatan putaran. Dengan begitu, anak-anak belajar melalui apa yang mereka sukai menjadi sebuah pendekatan yang sangat sejalan dengan prinsip pembelajaran aktif dan menyenangkan. Orang tua pun harus diajak untuk memahami bahwa fenomena ini tidak serta merta negatif. Orang tua perlu berdialog dengan anak, menanyakan apa yang mereka rasakan saat bermain, dan menjelaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara waktu belajar dan bermain. Dengan komunikasi yang terbuka, anak-anak akan lebih mudah diarahkan daripada hanya diberikan batasan tanpa alasan yang bisa mereka pahami.

Penghapus yang dijadikan gasing bukan sekadar tren anak-anak semata. Ia mencerminkan bagaimana anak-anak merespons kebosanan, kebutuhan bersosialisasi, serta dorongan untuk bereksplorasi. Jika disikapi dengan bijak, fenomena ini bisa menjadi peluang emas untuk mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia anak-anak itu sendiri. Namun, jika dibiarkan tanpa kontrol, bisa jadi justru menimbulkan masalah baru dalam proses pembelajaran. Maka, peran semua pihak seperti sekolah, guru, orang tua, bahkan teman sebaya sangatlah penting untuk menjadikan fenomena ini sebagai bagian dari pendidikan karakter dan kreativitas, bukan gangguan pembelajaran.

Dalam dunia pendidikan dasar, segala sesuatu harus dilihat dengan kacamata keseimbangan. Bermain adalah hak anak, namun belajar juga merupakan kewajiban. Kreativitas harus dirangkul, namun tetap dalam batas nilai dan disiplin. Penghapus yang berubah fungsi menjadi gasing seharusnya tidak hanya dilihat sebagai mainan iseng, tapi juga sebagai cermin dari jiwa eksploratif anak-anak kita. Maka, daripada mematikan kreativitas itu dengan larangan kaku, mari kita arahkan dan manfaatkan untuk tujuan pendidikan yang lebih luas. Dengan pendekatan yang tepat, siapa tahu dari penghapus yang berputar itu lahir semangat belajar yang juga terus berputar, tanpa henti.N NUR Garut

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *