Kisah enam mahasiswa UIN Walisongo yang hanya ingin bermain air, sebelum arus deras mengubah tawa menjadi duka.
Air di Sungai Getas siang itu mengalir tenang. Matahari condong ke barat, memantulkan kilau keemasan di permukaan air yang jernih. Dari kejauhan, terdengar riuh suara anak muda bercanda—tawa yang lepas, ringan, khas usia dua puluhan yang sedang belajar tentang dunia dan pengabdian.
Lima belas mahasiswa UIN Walisongo Semarang sedang menjalani hari ke sekian dari Kuliah Kerja Nyata di Desa Getas, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Setelah berminggu-minggu berbaur dengan warga, mengajar anak-anak dan membantu kegiatan desa, siang itu mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“Cuma mau keceh air,” kata salah seorang mahasiswa yang selamat—menggunakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti bermain air di tepian.
Tidak ada niat untuk tubing atau berenang. Hanya bermain di tepian sungai, tertawa sambil mencelupkan kaki ke aliran yang menenangkan. Tak ada tanda bahaya, tak ada firasat buruk.
Namun alam kadang punya bahasa sendiri. Dari hulu yang jauh, hujan deras telah turun lebih dulu. Dalam hitungan menit, debit air naik. Arus yang semula jinak berubah menjadi kekuatan yang tak tertahankan.
“Air datang cepat sekali,” kata salah satu warga. “Seperti tembok besar yang tiba-tiba muncul.”
Teriakan pecah. Beberapa mahasiswa sempat saling berpegangan, berusaha menepi, namun derasnya air memisahkan mereka. Enam orang terseret arus. Sembilan lainnya berhasil memanjat tebing, menangis, berteriak memanggil nama teman-teman mereka yang lenyap di balik pusaran air.
Di tepi sungai yang mulai kembali tenang, hanya tersisa sandal, tas, dan telepon genggam yang tergeletak di batu-batu basah.
Malam itu, tim SAR bersama warga memulai pencarian. Lampu-lampu senter menyoroti permukaan sungai yang kini gelap dan beraroma tanah. Satu per satu, tubuh-tubuh muda itu ditemukan di sepanjang aliran sungai yang memanjang hingga belasan kilometer.
Nama-nama mereka kemudian disebut dengan lirih di kampus: Riska Amelia, Syifa Nadilah, Muhammad Labib Rizqi, Muhammad Jibril Asyarafi, Bima Pranawira, dan Nabila Yulian Dessi Pramesti. Enam nama yang sebelumnya hanya tercantum di daftar KKN kini menjadi berita duka yang menembus hati banyak orang.
Di kampus, suasana berubah hening. Di papan pengumuman KKN, masih tertempel foto mereka dengan senyum lebar, mengenakan seragam almamater hijau tua. Di bawah foto itu, kini terpasang bunga dan doa-doa yang ditulis tangan teman-teman mereka.
Kehilangan itu bukan hanya milik keluarga. Dosen pembimbing mereka menitikkan air mata saat menceritakan kembali semangat para mahasiswa itu.
“Mereka datang dengan niat baik. Mereka ingin membantu warga desa, belajar dari kehidupan nyata. Tak ada yang menyangka, alam akan bicara sekeras itu.”
Tragedi ini menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana alam bisa berubah dalam sekejap. Sungai yang tampak tenang di musim hujan bisa menyimpan bahaya besar.
Kini, pihak kampus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan KKN, memastikan setiap lokasi memiliki mitigasi risiko dan pemahaman tentang cuaca serta kondisi alam sekitar.
Beberapa hari kemudian, di tepi Sungai Getas, warga dan teman-teman korban datang menabur bunga. Arus air masih mengalir, memantulkan langit sore yang sendu. Seorang ibu korban berdiri di tepi sungai, menatap kosong ke arah air yang tak pernah berhenti bergerak.
“Dia bilang cuma mau bantu desa. Saya tidak sangka, pengabdiannya berakhir di sini,” ucapnya pelan.
Air sungai terus mengalir, seperti waktu yang tak bisa diputar ulang. Tapi di balik setiap percikannya kini tersimpan kenangan tentang tawa, mimpi, dan pengabdian yang terhenti di tengah jalan.
Sungai Getas akan terus mengalir, tapi bagi banyak orang, setiap riak airnya akan selalu membawa satu pesan: bahwa di antara tawa dan ketenangan, kita tak pernah tahu kapan alam mengingatkan betapa rapuhnya manusia.


















