Oleh: Hening Anggun Dian Ratri, Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Jari-jariku bergetar di atas keyboard ponsel. Sudah sepuluh menit aku menatap layar kosong WhatsApp, mencoba merangkai kata-kata yang selama tiga tahun tak pernah berani kuucapkan. Di luar jendela kamar kos baruku di Solo, langit senja berubah jingga, seolah ikut menangisi keputusan yang akan kubuat malam ini.
Tiga tahun. Seribu sembilan puluh lima hari bersama Deo. Hari-hari yang penuh tawa, janji manis, dan juga air mata yang semakin sering datang belakangan ini. Tapi malam ini, setelah lima hari Deo menghilang tanpa kabar—lagi—aku tahu, sudah waktunya. Aku tidak bisa terus seperti ini.
Kupejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengetik.
“Deo, aku capek. Aku nggak kuat lagi nunggu kamu yang selalu menghilang setiap ada masalah. Aku udah cukup memaafkan. Kali ini, aku pilih untuk pergi. Maaf, dan terima kasih untuk semuanya. Selamat tinggal.”
Kutekan tombol Send.
Begitu centang dua muncul, aku langsung memblokir nomornya. Lalu Instagram, TikTok, semua akun media sosialnya. Tanganku bergerak cepat, seolah takut aku akan menyesal dan membatalkan semuanya. Ketika selesai, dadaku terasa kosong. Tapi anehnya, ada sedikit rasa lega yang tak bisa kujelaskan.
Air mata mulai mengalir. Aku memeluk bantal erat-erat, membiarkan semua rasa sakit yang selama ini kutahan akhirnya keluar. Ponsel bergetar berkali-kali—mungkin Deo mencoba menghubungiku dari nomor lain, atau mungkin hanya notifikasi biasa. Aku tidak peduli. Malam itu, aku menangis sampai tertidur.
Minggu pertama di Solo tanpa Deo terasa seperti neraka. Setiap pagi aku terbangun dengan mata sembab. Kebiasaan lama muncul tanpa kusadari—membuka WhatsApp untuk mengecek pesannya, lalu teringat bahwa aku sudah memblokirnya. Rasanya seperti kehilangan bagian dari diri sendiri.
“Via, kita ke kafe yuk? Kamu nggak boleh di kamar terus,” kata Feli, teman satu kelompok orientasi kampus yang baru seminggu kukenal. Matanya menatapku penuh khawatir.
Laras yang duduk di sampingnya ikut mengangguk. “Iya, Via. Kamu butuh distraksi. Ayo lah, traktir aku matcha, hehe.”
Aku tersenyum lemah. Dua gadis ini bahkan belum tahu ceritaku dengan Deo, tapi entah kenapa mereka selalu ada setiap kali aku butuh. Mungkin mereka bisa melihat kesedihan yang kusembunyikan di balik senyuman.
Kami pergi ke salah satu kafe dekat kampus UNS. Di tengah hiruk-pikuk mahasiswa baru yang sibuk bercerita tentang masa depan mereka, aku duduk diam sambil mengaduk matcha yang bahkan belum kuminum.
“Putus ya?” tanya Laras tiba-tiba, to the point seperti biasa.
Aku mengangguk pelan, tenggorokanku tercekat.
Feli mengelus punggungku lembut. “Nggak apa-apa, Via. Nangis aja kalau mau. Kita di sini.”
Dan aku menangis lagi. Di tengah kafe yang ramai, aku menangis sambil menceritakan semuanya—tentang Deo yang selalu menghilang, tentang rasa sakitku yang kupendam, tentang keputusanku yang terasa berat. Feli dan Laras tidak menghakimi, tidak memberi nasihat klise. Mereka hanya mendengarkan, dan itu sudah lebih dari cukup.
Minggu kedua sedikit lebih baik. Air mata tidak lagi mengalir setiap hari. Aku mulai belajar untuk tidak memikirkan Deo setiap kali pikiranku kosong. Setiap kali wajahnya muncul di benakku, aku segera berdiri dan melakukan hal lain—membersihkan kamar, membaca buku, atau sekadar jalan-jalan keliling kampus.
“Progress, Via! Ini namanya progress!” seru Feli suatu sore ketika aku bilang sudah bisa makan dengan lahap tanpa teringat Deo. Hal sepele, tapi bagi seseorang yang baru putus dari hubungan tiga tahun, itu pencapaian besar.
Tapi malam itu, Ibu menelepon.
“Kenapa kamu putus sama Deo? Ibu kan sayang sama dia. Kalian udah tiga tahun, Via. Masalah apa sih yang nggak bisa diselesaikan?”
Aku menarik napas panjang. Inilah bagian tersulit—menjelaskan keputusanku kepada orang lain, terutama keluarga yang sudah menganggap Deo bagian dari kami.
“Bu, Via capek. Deo itu… suka menghilang kalau ada masalah. Via udah tiga tahun memaafkan hal yang sama. Via nggak kuat lagi,” jelasku pelan.
“Tapi Via, orang pacaran ya begitu. Harus belajar sabar—”
“Via udah cukup sabar, Bu.” Suaraku lebih tegas kali ini. “Via pilih untuk pergi sekarang sebelum terlambat. Via mau fokus kuliah, mohon Bu mengerti.”
Hening sebentar. “Ya sudah. Ibu doakan yang terbaik buat kamu, sayang.”
Setelah telepon berakhir, aku duduk di tepi kasur sambil menatap kosong. Kenapa semua orang seolah tidak mengerti? Kenapa keputusan untuk meninggalkan sesuatu yang menyakitkan harus selalu dipertanyakan? Tapi aku tidak akan menyerah. Aku sudah terlalu jauh untuk kembali.
Minggu ketiga adalah titik balik. Aku bangun pagi dengan perasaan berbeda. Bukan bahagia, tapi ada semacam tekad baru yang membara di dadaku. Aku tidak ingin hanya bertahan, aku ingin berkembang.
Aku mulai dengan hal kecil: mendaftar ke organisasi seni, ikut kepanitiaan acara kampus, bahkan menjadi volunteer di panti asuhan dekat kampus. Setiap hari diisi kegiatan. Tak ada waktu untuk merenung terlalu lama.
“Eh, Via! Kamu glow up banget deh sekarang!” kata Laras suatu pagi di kantin kampus. Aku tersenyum. Akhir pekan kemarin aku memang membeli beberapa produk makeup baru dan menonton tutorial berjam-jam di YouTube. Hari ini, untuk pertama kalinya setelah putus, aku memakai makeup lengkap.
“Makasih, Ras. Aku lagi belajar mencintai diri sendiri,” jawabku sambil tersenyum. Dan aku benar-benar merasakannya. Aku mulai memperhatikan diriku—kulitku, kesehatanku, pikiranku, dan masa depanku.
Feli mencolek bahuku. “Bangga deh sama kamu, Vi. Kamu kuat banget.”
Aku menggeleng. “Aku nggak kuat, Fel. Aku cuma capek sakit terus. Jadi aku pilih untuk sembuh.”
Dua bulan berlalu. Kehidupan baruku di Solo berjalan nyaman. Aku punya rutinitas, teman-teman baru, dan kesibukan yang membuatku merasa hidup. Tapi tentu saja, tidak semua hari mudah.
Ada malam-malam ketika aku tiba-tiba teringat Deo—tawa kami, pelukannya, suaranya yang menenangkan. Lalu pertanyaan itu muncul: Aku sudah benar-benar ikhlas belum?
Aku belajar untuk tidak lari dari pertanyaan itu. Aku biarkan perasaan itu datang, kuakui, lalu kubiarkan pergi. Karena ikhlas bukan berarti tidak pernah teringat, tapi tetap memilih untuk tidak kembali.
Suatu sore, kami bertiga duduk di taman kampus menikmati senja.
“Via, kamu udah happy?” tanya Feli.
Aku terdiam sejenak. “Happy? Belum sepenuhnya. Tapi aku tenang. Aku nggak gelisah lagi seperti dulu. Aku tidur nyenyak sekarang, nggak takut besok Deo tiba-tiba menghilang lagi. Aku bisa bernapas lega.”
Laras tersenyum. “Itu udah lebih dari cukup, Vi.”
Dan dia benar. Kebahagiaan bisa datang nanti, tapi ketenangan adalah hadiah yang kupilih untuk diriku sendiri.
Malam ini, aku duduk di meja belajar kamar kos, menyelesaikan tugas. Ponsel berdering—notifikasi Instagram. Seseorang menambahkan cerita. Sekilas, kulihat nama Deo. Mungkin akun barunya, atau hanya nama yang mirip.
Jantungku berdegup cepat. Jari-jariku gatal untuk mengklik. Tapi aku menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan ponsel dengan layar menghadap ke bawah.
“Tidak,” gumamku. “Aku nggak butuh tahu.”
Aku kembali fokus pada laptopku. Kali ini, tidak ada air mata—hanya senyuman kecil yang lahir tanpa kusadari.
Tiga bulan yang lalu, aku adalah Xaviera yang takut sendirian, yang bergantung pada seseorang yang tak bisa memberinya ketenangan. Tapi hari ini, aku adalah Xaviera yang memilih dirinya sendiri. Yang tahu bahwa meninggalkan rasa sakit, meski setelah bertahun-tahun bertahan, bukanlah tanda kekalahan—melainkan keberanian.
Aku masih punya luka yang sesekali terasa. Masih ada malam-malam ketika aku merindukannya. Tapi aku juga punya mimpi, punya teman-teman yang tulus, dan yang terpenting, aku punya diriku sendiri yang kini lebih kuat.
Suatu hari nanti, aku akan siap mempercayai seseorang lagi. Suatu hari nanti, aku akan memberikan cinta tulusku kepada orang yang pantas. Tapi hari ini, aku hanya ingin fokus pada satu hal: menyembuhkan diriku sendiri.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
Kutatap pantulan diriku di kaca jendela. Mata yang dulu sering sembab kini tampak lebih cerah. Senyuman yang dulu dipaksakan kini terasa tulus.
“Selamat datang, Xaviera yang baru,” bisikku pada bayanganku sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan ini, aku benar-benar tersenyum—bukan karena sudah melupakan semuanya, tapi karena aku akhirnya berdamai dengan pilihanku.
Mungkin itu yang disebut sembuh: ketika kenangan tak lagi menyakitkan, hanya meninggalkan rasa pahit tipis di ujung lidah—seperti kopi yang perlahan menghangat di dadamu.


















