Oleh: Nawwaf Absyar Rajabi, Santri-Murid SMP Alam Nurul Furqon (Planet Nufo) Rembang
Akhir-akhir ini, banyak kasus keracunan akibat program Makanan Bergizi Gratis yang diprakarsai oleh Presiden Prabowo Subianto. Hingga saat ini, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk menjalankan program ini mencapai Rp 20,6 triliun atau sekitar 29% dari total anggaran tahun 2025 yang berjumlah Rp 71 triliun. Hingga pekan lalu, kasus keracunan terkait MBG terus terjadi, dengan insiden terbaru lebih dari 426 siswa SMAN 1 Yogyakarta mengalami diare dan sakit perut usai mengonsumsi makanan dari program tersebut pada Kamis (16/10) dini hari. Jumlah korban keracunan sejak awal tahun ini telah mencapai lebih dari 11.000 orang berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 5 Oktober. Maraknya kasus tersebut memicu gelombang penolakan, termasuk dari orang tua siswa dan pihak sekolah.
Sejumlah sekolah memilih tidak melaksanakan program yang menjadi salah satu andalan pemerintahan Prabowo Subianto ini karena mereka telah memiliki program makanan bergizi yang sudah berjalan secara mandiri. Namun, di tengah berbagai penolakan itu, Planet Nufo justru mendukung penuh program MBG. Menurut hemat penulis, sumber keracunan bukanlah kebijakan pemerintah, melainkan oknum pelaksana di lapangan. Misalnya, ada penyedia katering yang memotong biaya bahan makanan demi keuntungan, ada pengawasan yang longgar sehingga kualitas makanan tidak dicek secara menyeluruh, dan kadang laporan pelaksanaan dimanipulasi seolah-olah semuanya sudah sesuai standar padahal kenyataannya tidak. Hal-hal tersebut membuat makanan yang seharusnya bergizi justru berubah menjadi ancaman kesehatan.
Kita perlu melihat program MBG sebagai langkah strategis untuk membangun generasi yang kuat secara fisik, mental, dan intelektual. Menurut mereka, anak-anak tidak dapat tumbuh menjadi pembelajar yang optimal jika kebutuhan gizinya diabaikan. Ketika tubuh sehat terpenuhi sejak usia sekolah, kemampuan konsentrasi meningkat, daya ingat lebih baik, dan kesiapan belajar berkembang maksimal. Karena itu, pemberian makanan sehat di sekolah bukan sekadar bantuan, tetapi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa.
Gagasan tersebut sejalan dengan pandangan pendiri Planet Nufo, Dr. Mohammad Nasih, yang selama ini menekankan hubungan kecerdasan dan gizi. Sebagai contoh, Santri-Murid Planet Nufo tidak diperkenankan jajan sembarangan. Kalau ketahuan jajan sembarangan, akan dapat sanksi. Begitu juga penjual di Planet Nufo, dipastikan menjual makanan yang sehat. Masak untuk makanan sehari-hari juga dipastikan gizi seimbang dan tidak menggunakan micin. Menurutnya, generasi unggul tidak muncul hanya karena kurikulum dan prestasi akademik, tetapi dimulai dari fondasi hidup paling sederhana: tubuh yang sehat dan gizi yang cukup. Ia menegaskan bahwa anak harus tumbuh dengan makanan yang layak agar pikiran mereka jernih, emosi stabil, dan daya juang terbentuk sejak dini. Dengan gizi baik, pembelajaran bernilai tinggi dan pembangunan karakter akan tumbuh lebih kuat di dalam diri mereka.
Lebih jauh lagi, Dr. Mohammad Nasih menekankan bahwa program seperti MBG akan memberi dampak signifikan hanya jika dikelola dengan integritas dan kesadaran moral. Pemberian makanan di sekolah harus menjadi bagian dari proses pendidikan, yakni pendidikan untuk hidup sehat, menghargai makanan, peduli terhadap sesama, dan menjaga amanah. Ketika pemerintah menyediakan anggaran, sekolah mengawasi kualitas, masyarakat mengawal transparansi, dan pelaksana menjalankan tugas dengan tanggung jawab, maka MBG bukan sekadar program makan gratis, tetapi gerakan nasional untuk mencetak generasi Indonesia yang lebih sehat, cerdas, dan berkarakter.
Itulah mengapa banyak pihak menilai bahwa yang harus diperbaiki bukan programnya, tetapi sistem pengawasan dan sanksinya. Jika pengawasan ketat dan sanksi tegas diberlakukan, oknum pelaksana tidak akan berani bermain-main dengan makanan masyarakat, apalagi untuk anak sekolah. Pada akhirnya, program Makanan Bergizi Gratis sejatinya merupakan langkah besar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sejak dini. Gizi yang baik bukan sekadar urusan perut kenyang, tetapi pondasi utama bagi tumbuh kembang anak dan masa depan bangsa.
Pemerintah perlu memperkuat sistem distribusi, memperjelas standar kebersihan, dan memberikan pelatihan kepada para penyedia makanan agar mereka memahami pentingnya keamanan pangan. Selain itu, sanksi tegas harus diterapkan kepada siapa pun yang terbukti lalai atau melakukan kecurangan dalam pelaksanaan program. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, program ini masih bisa diselamatkan dan dikembalikan ke tujuan awal: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan makanan yang layak, sehat, dan bergizi. Sebab di balik sepotong nasi dan lauk sederhana, tersimpan harapan besar untuk masa depan negeri ini.






