Oleh: Solehah Amelda Kharisma, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kudus
Setiap 22 Desember, linimasa media sosial kita dipenuhi ucapan manis, foto-foto penuh nostalgia, dan ungkapan terima kasih kepada para ibu. Namun setelah hari itu berlalu, sering kali kita kembali pada kebiasaan lama: menganggap wajar segala hal yang ibu lakukan. Padahal, justru di ruang-ruang sunyi yang tidak pernah tersorot itulah cinta seorang ibu bekerja tanpa henti.
Ibu kerap menjadi sosok yang serbabisa. Ia bangun paling pagi dan tidur paling akhir. Ia mengurus anak, mengelola rumah, memastikan keuangan keluarga tetap seimbang, bahkan ikut menopang pendapatan rumah tangga. Kerja ibu tidak selalu tampak. Kita jarang melihat bagaimana ia menahan lelah untuk memastikan anak-anaknya nyaman, atau bagaimana ia berjuang menyembunyikan kekhawatiran agar keluarga tetap merasa aman. Ia melakukan itu semua bukan untuk dipuji, tetapi karena rasa tanggung jawab dan kasih sayang yang begitu dalam.
Hari Ibu mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan melihat kembali hal-hal kecil yang selama ini luput dari perhatian. Menghargai ibu bukan sekadar mengucapkan terima kasih setahun sekali, tetapi juga mengakui bahwa peran mereka seringkali dibentuk oleh struktur sosial yang menganggap kerja domestik sebagai sesuatu yang tidak penting. Di titik inilah, penghargaan juga harus dibarengi kesadaran: bahwa ibu membutuhkan dukungan nyata, bukan hanya pujian.
Dukungan itu bisa hadir dalam bentuk sederhana—berbagi pekerjaan rumah, memberi ruang bagi ibu untuk beristirahat, mendengarkan keluh kesahnya, atau melibatkan diri lebih aktif dalam pengasuhan. Namun bisa juga dalam bentuk yang lebih luas, seperti memperjuangkan hak-hak perempuan, mendorong lingkungan kerja yang ramah ibu, hingga menghapus stigma bahwa urusan rumah tangga sepenuhnya tanggung jawab perempuan.
Jika Hari Ibu dimaknai seperti itu, maka ia bukan hanya peringatan simbolik, melainkan momentum refleksi untuk menjadi keluarga dan masyarakat yang lebih adil. Kita belajar untuk tidak hanya mencintai ibu di permukaan, tetapi juga memahami kompleksitas peran yang mereka emban.
Pada akhirnya, cara terbaik untuk merayakan Hari Ibu adalah dengan benar-benar melihat mereka: melihat lelahnya, perjuangannya, keinginannya, dan kebutuhannya. Menghargai bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan yang membuat mereka merasa didukung, dihormati, dan dicintai sepenuhnya.Sebab kasih ibu memang luas, tetapi itu tidak berarti ia harus menanggung semuanya sendirian.


















