Oleh: Vinda Nidya Riyanti, Mahasiswa Teknologi Laboratorium Medis di Universitas Airlangga
Integritas moral suatu bangsa seringkali diukur dari kualitas etika dan perilaku generasi mudanya. Di tengah arus globalisasi dan transformasi sosial yang pesat, Indonesia menghadapi tantangan serius berupa dekadensi moral, yakni pemerosotan atau penurunan kualitas nilai-nilai etika, budi pekerti, dan kepatuhan terhadap normanorma kolektif yang berlaku. Salah satu fenomena sosial yang dipercaya berkontribusi signifikan terhadap melemahnya moralitas generasi muda, khususnya di lingkungan urban yang liberal, adalah praktik fenomena Living Together. Living Together, sebagai gaya hidup tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum dan agama, secara langsung menabrak nilai-nilai institusi keluarga dan kesusilaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Ketika komitmen dan tanggung jawab diabaikan demi kebebasan individual, fondasi moralitas sosial pun ikut tergerus. Praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian dalam hubungan interpersonal, tetapi juga berpotensi memperburuk masalah sosial yang lebih luas, seperti penurunan empati dan solidaritas dalam masyarakat. (Parulian, 2024)
DEFINISI DAN LATAR BELAKANG MASALAH
Integritas moral suatu bangsa seringkali diukur dari kualitas etika dan perilaku generasi mudanya. Di tengah arus globalisasi dan transformasi sosial yang pesat, Indonesia menghadapi tantangan serius berupa dekadensi moral, yakni pemerosotan atau penurunan kualitas nilai-nilai etika, budi pekerti, dan kepatuhan terhadap normanorma kolektif yang berlaku. Dekadensi ini terwujudkan dalam berbagai bentuk penyimpangan sosial, dari pelanggaran norma sederhana hingga tindakan kriminal ekstrem, yang menandakan rapuhnya benteng spiritual dan kultural. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pendidik, orang tua, dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai karakter yang kuat dan etika yang baik pada generasi muda. (Casika et al., 2023)
Salah satu fenomena sosial yang dipercaya berkontribusi signifikan terhadap melemahnya moralitas generasi muda, khususnya di lingkungan urban yang liberal, adalah praktik fenomena Living Together. Living Together, sebagai gaya hidup tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum dan agama, secara langsung menabrak nilai-nilai institusi keluarga dan kesusilaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Ketika komitmen dan tanggung jawab diabaikan demi kebebasan individual, fondasi moralitas sosial pun ikut tergerus. Praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian dalam hubungan interpersonal, tetapi juga berpotensi memperburuk masalah sosial yang lebih luas, seperti penurunan empati dan solidaritas dalam masyarakat. (Parulian, 2024)
A. DEFINISI DAN LATAR BELAKANG MASALAH
Integritas moral suatu bangsa seringkali diukur dari kualitas etika dan perilaku generasi mudanya. Di tengah arus globalisasi dan transformasi sosial yang pesat, Indonesia menghadapi tantangan serius berupa dekadensi moral, yakni pemerosotan atau penurunan kualitas nilai-nilai etika, budi pekerti, dan kepatuhan terhadap normanorma kolektif yang berlaku. Dekadensi ini terwujudkan dalam berbagai bentuk penyimpangan sosial, dari pelanggaran norma sederhana hingga tindakan kriminal ekstrem, yang menandakan rapuhnya benteng spiritual dan kultural. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pendidik, orang tua, dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai karakter yang kuat dan etika yang baik pada generasi muda. (Casika et al., 2023)
Salah satu fenomena sosial yang dipercaya berkontribusi signifikan terhadap melemahnya moralitas generasi muda, khususnya di lingkungan urban yang liberal, adalah praktik fenomena Living Together. Living Together, sebagai gaya hidup tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum dan agama, secara langsung menabrak nilai-nilai institusi keluarga dan kesusilaan yang dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Ketika komitmen dan tanggung jawab diabaikan demi kebebasan individual, fondasi moralitas sosial pun ikut tergerus. Praktik ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian dalam hubungan interpersonal, tetapi juga berpotensi memperburuk masalah sosial yang lebih luas, seperti penurunan empati dan solidaritas dalam masyarakat. (Parulian, 2024).
B. BENTUK DAN FAKTOR PENDORONG
Pola praktik living together terdeskripsikan sebagai tinggal bersama di kos-kosan atau kontrakan. Lingkungan kos yang dekat dengan kampus, ditambah dengan peraturan pemilik kos yang cenderung longgar, menjadi faktor yang memfasilitasi praktik ini.
Adapun faktor pendorong utama yang teridentifikasi dalam penelitian ini meliputi:
1. Praktik ini didorong oleh rasionalisasi bahwa tinggal bersama dapat “lebih hemat” secara biaya
2. Adanya keinginan akan kebebasan personal dan anggapan bahwa komitmen formal (pernikahan) bersifat membatasi
3. Pasangan merasa sudah “sama-sama cocok” sehingga merasa tidak perlu adanya ikatan pernikahan resmi.
Fenomena ini paling banyak terjadi pada rentang usia 18 hingga 25 tahun, khususnya mahasiswa dan pekerja muda.
C. IMPLIKASI TERHADAP DEKADENSI MORAL
Temuan penelitian secara konsisten mengidentifikasi living together, atau “kumpul kebo”, sebagai gejala dekadensi moral yang ditandai oleh pergeseran nilai. Rasionalisasi yang digunakan informan, seperti alasan “lebih hemat atau karena sudah sama-sama cocok”, menunjukkan pergeseran nilai dari moralitas kolektif ke individual-pragmatis. Living together adalah indikator dekadensi karena mencerminkan menurunnya komitmen terhadap institusi perkawinan, para peneliti seperti Pranata dan Hidayat (2023) juga melihat living together sebagai bentuk permisivitas hubungan pra-nikah di kota metropolitan, memperkuat argumen bahwa ini adalah hasil dari erosi kolektif terhadap nilai-nilai tradisional.
Kasus pembunuhan atau mutilasi dalam hubungan living together TAS (25) oleh AM (24) di Kelurahan Lidah Wetan, Surabaya memperlihatkan risiko yang terkandung dalam dekadensi moral. Living together dicirikan oleh ketidakpastian hubungan dan rentan terhadap stigma sosial. Ketiadaan ikatan legal membuat konflik internal tidak memiliki jalur penyelesaian yang sehat. Kekerasan ekstrem ini muncul ketika aspek agama, adat, dan norma sosial tidak lagi menjadi landasan utama perilaku. Studi Utami (2022) dalam penelitiannya tentang hubungan pranikah dan konflik berbasis kekerasan memperkuat bahwa hubungan tanpa ikatan formal memiliki probabilitas konflik yang lebih tinggi yang berujung pada kekerasan fisik. Kasus ini menunjukkan bahwa dekadensi moral dapat bermuara pada ancaman nyata terhadap keselamatan individu.
Mengingat lemahnya kontrol sosial di perkotaan, penanggulangan membutuhkan sinergi Komunitas dan Kebijakan Lokal yang aktif. Strategi ini mencakup meningkatkan pengawasan lingkungan yang melibatkan pemilik kos, ketua RT/RW, dan toko. Diperlukan sosialisasi hukum dan nilai moral serta kebijakan lokal yang mendorong pemilik kos untuk bertanggung jawab penuh atas norma hunian. Sinergi ini bertujuan menciptakan kontrol sosial kolektif yang dapat menyeimbangkan dampak negatif dari individualisasi.
Hubungan antara living together dan dekadensi moral diperparah oleh:
1. Lingkungan perantau yang heterogen dan individualistis menyebabkan kontrol sosial tradisional yang dijalankan oleh masyarakat lokal, RT/RW, dan pemilik kos menjadi lemah atau tidak efektif
2. Ketiadaan ikatan legal dan sosial menjadikan hubungan living together sarat ketidakpastian dan kerentanan. Hal ini berpotensi besar memicu konflik fatal, sebagaimana dicontohkan dalam kasus kriminalitas (pembunuhan) di Lidah Wetan, Surabaya. Kasus tersebut menegaskan bahwa hilangnya landasan moral dapat berujung pada ancaman nyata terhadap keselamatan individu
D. REKOMENDASI PENANGGULANGAN
Penanggulangan dekadensi moral yang tercermin dalam fenomena living together harus bersifat menyeluruh (holistik) dan melibatkan multi-pihak.
1. Keluarga harus menjadi benteng pertahanan moral pertama dan utama dengan cara meningkatkan komunikasi terbuka dan penanaman nilai-nilai religiusitas serta pendidikan karakter sejak dini.
2. Lembaga wajib mengintegrasikan pendidikan karakter dan etika mendalam, serta rutin melakukan sosialisasi mengenai konsekuensi hukum, sosial, dan risiko eskalasi konflik dari living together.
3. Komunitas lokal (RT/RW) dan pemilik kos perlu diaktifkan kembali untuk meningkatkan pengawasan. Pemerintah Daerah juga disarankan untuk memperkuat Peraturan Daerah (Perda) terkait ketertiban umum dan kesusilaan, serta menyediakan kegiatan positif (organisasi/sosial) sebagai wadah aktualisasi diri generasi muda.
REFERENSI
ermata, A. A., & Handoyo, P. (2023). Krisis sosio-cultural dalam pergaulan bebas pada masyarakat perkotaan di bandung. Jurnal Terapung: Ilmu – Ilmu Sosial.
Pranata, A., & Hidayat, B. (2023). Permisivitas Hubungan Pra-Nikah di Kota Metropolitan. Jurnal Sosiologi Kontemporer, 12(2), 150–175.
Utami, D. (2022). Hubungan Pra-Nikah dan Konflik Berbasis Kekerasan. Jurnal Psikologi Sosial, 15(3), 200–225.

















