Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Menggenggam Kehancuran

×

Menggenggam Kehancuran

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Nayla Rizki Putri Hananta, Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Sore itu, Jakarta diguyur hujan deras. Petir menyambar langit kelabu ketika Calitta Azaleya Pratama berdiri di depan pusara ayahnya. Gaun hitamnya basah, namun ia tak bergerak. Tidak ada air mata di matanya—hanya tatapan dingin yang menyimpan gelombang duka.
“Leya, cepat menikah ya? Ayah tidak sabar nantinya menikahkan kamu. Jangan sibuk kerja terus.”
Itu kalimat terakhir sang ayah di meja makan pagi tadi. Beberapa jam sebelum Calitta pulang dan menemukan ayahnya tergeletak dalam kondisi mengenaskan.

Example 300x600

Calitta baru 22 tahun. Terlalu muda, menurut aparat kepolisian. Namun kini ia telah direkrut menjadi jurnalis untuk beberapa kasus di Media Hub Polri. Perjalanan itu tidak ia dapatkan dengan mudah—ada jerih payah dan doa yang tak banyak diketahui orang.

Suasana duka masih menyelimuti rumah. Bisik-bisik tetangga terdengar samar. “Leya, ikut tante sebentar?” suara itu milik Adara, ibu sambungnya. Ia melangkah lebih dulu ke kamar utama, diikuti Calitta dua langkah di belakang.
Beberapa saat hening, hingga Adara membuka suara.
“Leya… menurut kamu kematian ayah itu… wajar? Masuk akal?”
Calitta menatap pantulan dirinya di cermin, kosong.
“Tante… Ayah masih ada. Leya nggak perlu usut kepergian Ayah, kan? Ayah nggak ninggalin kita, kan?”
Adara menangis lagi. Ia tahu, sejak awal, Calitta adalah orang yang paling dekat dengan Pratama. Saat banyak orang meragukan ketulusannya pada Pratama, justru Calitta menjadi garda terdepan untuk membela Adara.
“Leya percaya Ayah lebih tahu tante dibanding Leya dan Kak Nara. Kalau Ayah bahagia, Leya juga bahagia,” ucap Calitta kala itu.

Di sudut kota lain, dua laki-laki sepantaran Calitta sedang menikmati kopi. Robin, anak Kasat Reskrim tempat Calitta direkrut.
“Lo yakin mau masuk kasus ini, Har? Ini bukan kasus biasa. Banyak yang nggak masuk akal dan seakan direncanakan. Pratama bukan orang sembarangan, dan kita…”
“Kita, bukan gue, kan?” Haris memotong. Ia menatap Robin. “Gue punya banyak pertimbangan. Salah satunya keselamatan dia. Kita mungkin bukan siapa-siapa. Tapi gue… gue bisa maju beberapa langkah buat lindungi keluarga itu.”
Robin mengetuk meja pelan. “Mereka punya Calitta. Gue dengar, dia sangat bisa diandalkan. Gue yakin dia nggak akan tinggal diam setelah baca semua data itu.”
Perdebatan itu sudah berlangsung berjam-jam. Robin tahu sebagian besar kalimatnya hanya akan lewat di telinga Haris. Sisanya, Haris akan mengatur sendiri.

“Silakan diminum, Mas.”
Haris tersenyum tipis lalu kembali menatap wanita di hadapannya. “Jadi… kamu tertarik, Litta?”
Calitta masih diam, menelaah data yang ada di tangannya.
“Siapa kamu, Haris? Aku bahkan nggak pernah tahu tentang semua ini.”
Haris merapatkan kedua tangannya, atmosfer seketika menegang. “Aku sudah bilang… aku jurnalis asing. Dan… aku tertarik dengan kasus ini.”
Calitta membulatkan mata, berdiri dengan tegas.
“Kamu tertarik? Kamu pikir kematian ayahku bahan ketertarikan? Jaga mulutmu, Haris.”
Adara keluar dari kamar setelah mendengar keributan. Ia memegang kedua pundak Calitta yang bergetar.
“Leya, dengarkan dulu. Tahan ya? Ayah nggak suka Leya yang begini.”
Calitta akhirnya duduk kembali.

“Apa pendapat kamu tentang kasus ini, Har?”
“Aku rasa kematian ayahmu lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Banyak yang nggak terjawab.”
“Ada yang ayah sembunyikan… tapi aku nggak tahu apa. Semuanya samar. Ayah nggak pernah jelasin ke aku atau Tante Adara.”
Keduanya terdiam sebelum Calitta kembali berkata, “Kecuali satu orang.”

Sepatu hitam Haris melangkah di lorong rumah sakit jiwa. Pikirannya kacau setelah pertemuan panjang dengan Calitta.
“Dia kakakku, Narasha. Entah apa yang terjadi selama aku pergi. Tapi saat aku kembali… Kak Nara sudah di sini,” kata Calitta sebelumnya.

Lamunannya buyar saat ponselnya berdering.
“Selamat malam, Haris.”
“Ya, Calitta? Ada apa?”
“Besok ketemu? Ada yang ingin kubicarakan.”
Haris menyetujui.

Keesokan harinya, Haris berdiri di ambang pintu ruang perawatan Narasha Ayu Pratama. Gadis itu tampak sangat berbeda. Bukan lagi gadis kaya anggun, melainkan seseorang yang hancur. Rambutnya berantakan, tubuhnya kurus, matanya kosong.
Begitu Haris melangkah masuk, Narasha tertawa—pelan lalu semakin keras.
“Haris? Itu kamu?”
“Apa yang terjadi sama kamu, Sha?”
Narasha tersenyum miring. “Ini semua karena laki-laki itu, Har. Dia kehilangan akal.”

Haris menahan napas. “Siapa? Siapa yang kamu maksud?”
Narasha mengangkat lengannya, menunjukkan luka-luka. “Apa kamu nggak takut, Har? Mereka bilang aku gila.”
Ia tersenyum sedih. “Aku cuma boneka yang mereka rusak. Nggak ada yang bisa memperbaiki yang sudah hancur.”
Haris mendekat. “Kita akan rakit ulang semuanya, Asha. Percaya aku.”
Narasha tertawa lagi, hampir seperti predator.
“Kamu terlalu sempurna untuk diabadikan, Haris…”
Ia mengeluarkan silet, menggores pergelangan tangan Haris.
“Stop, Narasha!”
Adara datang dan menahan Narasha. Para suster masuk, menenangkan Narasha. Luka Haris diobati.
Narasha tidak serusak yang ia bayangkan… tapi ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi.

“Terima kasih datanya, Haris,” ucap Calitta kemudian. Mereka bertemu untuk menindaklanjuti temuan.
Haris membuka ponselnya. Wajahnya berubah serius.
“Calitta, kamu pulang sama siapa?”
“Aku pesan taksi online.”
“Kamu nggak aman, Calitta. Tolong percaya aku.”
“Har, apa maksudmu?”
Haris mendekat.
“Setelah ayahmu… sepertinya mereka mengincar kamu. Dan aku nggak akan biarkan itu.”

Sebuah berita muncul: Minibus meledak tiba-tiba. Pengemudi tewas mengenaskan.
Itu seharusnya kendaraan yang ditumpangi Calitta.
Haris menghela napas berat.
“Mereka jauh lebih besar dari yang kupikir.”

“Kamu siapa sebenarnya, Haris?”
Jawabannya datang dengan tiga kata:
“Ayo menikah, Calitta.”

Diam sepuluh detik.
Calitta tertawa kecil. “Kamu orang paling gila yang pernah aku temui.”
“Aku serius,” kata Haris. “Demi keselamatan kamu.”

Dua minggu kemudian, mereka resmi menikah. Tanpa cinta—setidaknya begitu yang mereka yakini. Namun perlahan, perhatian kecil dan kebersamaan mengubah banyak hal.

Haris menyiapkan kopi. Calitta menyiapkan sarapan. Mereka duduk berdampingan, menikmati pagi. Suasana itu terasa damai—terlalu damai bagi Haris yang sebelumnya hidup dalam kekacauan kasus.

Namun sebuah pesan membuat rahangnya mengeras.

Di sebuah kafe, Robin menyerahkan dokumen.
“Maksud lo, pelaku yang mau celakai Calitta beda sama pembunuh Pratama?”
Robin mengangguk.
“Tapi itu bukan yang paling penting.”
Haris berhenti membalik halaman.
“Apalagi?”
“Narasha. Dia terlibat dalam pembunuhan ayahnya.”

Malam itu, Calitta membawa teh untuk Haris.
Ia ingin menjenguk kakaknya. Haris tidak melarang. Ia hanya berjanji menjaga Calitta dalam diam.

Ketika Calitta datang ke rumah sakit, ia mendapati Narasha jauh lebih tenang.
“Aku pernah jatuh cinta,” kata Narasha tiba-tiba.
Calitta terkejut; ia tak pernah tahu hal itu.
Narasha melanjutkan kisah pahitnya, tentang seseorang yang ia tinggalkan demi melindunginya. Tentang orang-orang kejam yang menghancurkan hidupnya. Hingga memorinya terhapus.
“Siapa mereka?” tanya Calitta.
Narasha menggeleng. “Aku lupa, Aleya.”

Sementara itu, Haris yang sedang menunggu Calitta di kafe melihat Adara dan Suster Dina. Mereka berbisik-bisik.
“Narasha mulai mengingat, Bu. Obat-obatan itu nggak bisa lagi dimasukkan,” kata suster.
“Kalau Narasha pulih, kita terancam. Calitta akan memihak dia,” jawab Adara.
“Satu-satunya cara adalah menyingkirkan salah satu dari mereka.”

Haris mendengar semuanya. Puzzle yang berantakan mulai tersusun.
Adara… menginginkan kehancuran.

Suatu sore, semuanya pecah.
Narasha melihat Haris, berlari memeluknya, menangis ketakutan.
“Lindungi aku dari dia.”
Adara terkejut Narasha mengingat semuanya.
Narasha menatapnya tajam.
“Kamu dan Pratama yang merusak aku. Kalian ingin semua warisan mama jatuh ke tangan kalian. Bahkan kalian ingin hilangkan nyawa adikku. Tapi sebelum Pratama bunuh adikku… aku bunuh dia dulu.”
Adara terpaku.
Dan di belakangnya, Calitta berdiri, wajah penuh air mata.
“Tante…?”

Adara lari, meninggalkan tiga orang yang saling diam.
“Maafkan tante, Calitta…”

Persidangan berakhir.
Adara dipenjara.
Narasha tidak dijatuhi hukuman atas permintaan keluarga korban—permintaan Calitta.

Keluar dari pengadilan, Calitta menatap Haris.
“Haris… kita pisah aja ya?”
Haris tercekat.
“Apa segampang itu, Ta? Apa kamu nggak pernah bahagia sama aku?”
“Apa salah kalau aku bilang aku kecewa sama kamu?”
“Kamu berhak. Tapi tolong… pikirkan lagi permintaan itu. Aku cinta sama kamu, Ta.”

Calitta menggigit bibir.
“Terima kasih sudah jaga aku. Tapi sekarang biarkan aku jaga diriku sendiri. Semua sudah selesai. Kamu bisa hidup bahagia sama Kak Nara.”
Haris menggeleng keras.
“Enggak. Kebahagiaan aku sekarang kamu.”
“Enggak, Har—”
“Azaleya.”

Sebuah suara memecah udara.
Narasha berdiri di sana dengan senyum tenang.
“Kakak terlalu lama pergi ya, Le? Sampai kakak nggak tahu adik kakak sehebat ini sekarang.”
Calitta berkaca-kaca.
“Kakak ingat aku?”
Narasha mengangguk.
“Maaf, Kak… maaf aku ambil satu-satunya yang kakak sayang. Aku nggak tahu Haris dulu…”
Ucapan itu terhenti saat tangan Narasha terangkat ke leher Calitta. Liontin kecil yang selama ini tergantung di sana kini berpindah ke tangan Narasha…

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Oleh: Zariffah Sifa Meliyana, Mahasiswa Pendidikan Fisika Fakultas…

Cerpen

Oleh: Levina Elysia Felda, Duta Siswa Putri Kabupaten…

Cerpen

Oleh: Avinatu Mualimah, Mahasiswa Pendidikan Fisika Universitas Sebelas…

Cerpen

Oleh: Hening Anggun Dian Ratri, Mahasiswa Prodi Pendidikan…

Cerpen

Oleh : Avinatu Mualimah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika…