Oleh: Anugrah Alqadri, Direktur Sanlex
Banjir besar yang kembali melanda Sumatera dan Aceh tidak lagi bisa dipahami semata sebagai peristiwa alam. Jika dicermati secara kritis, bencana ini merupakan cerminan dari akumulasi risiko yang sesungguhnya telah lama diperingatkan melalui berbagai instrumen negara. Ketika risiko yang sudah dipetakan tidak diikuti oleh langkah mitigasi yang memadai, maka yang tersisa hanyalah siklus bencana yang terus berulang.
Platform nasional inaRISK yang dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana secara terbuka memuat penilaian risiko untuk setiap kabupaten dan kota. Hampir seluruh wilayah rawan di Sumatera dan Aceh tercatat berada dalam kategori risiko tinggi terhadap banjir. Artinya, secara ilmiah negara telah memiliki diagnosis yang relatif lengkap: wilayah rentan, potensi kerusakan besar, kapasitas penanggulangan rendah, dan dampak yang dapat meluas. Masalahnya bukan pada ketersediaan data, melainkan pada sejauh mana data tersebut benar-benar dijadikan dasar pengambilan kebijakan.
Ketika peta risiko tidak menjadi rujukan utama dalam perencanaan tata ruang, pemberian izin usaha, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan lahan, maka keberadaannya berpotensi berhenti sebagai dokumen digital yang indah namun tidak berpengaruh. Bencana yang kembali terjadi menunjukkan bahwa peta risiko yang sudah berada pada fase merah belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi prioritas pembangunan.
Dari sisi meteorologi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika secara konsisten telah mengeluarkan peringatan dini mengenai potensi hujan sangat lebat, ketidakstabilan tekanan udara, pergeseran monsun, hingga dampak lanjutan fenomena global seperti La Niña dan gelombang panas yang meningkatkan konveksi. Peringatan ini seharusnya dipahami bukan sekadar sebagai ramalan cuaca harian, melainkan sebagai sinyal strategis yang memicu langkah antisipatif seperti pembersihan sungai dan drainase, persiapan logistik evakuasi, peningkatan kesiapsiagaan masyarakat, serta penguatan koordinasi antarlembaga.
Namun ketika peringatan semacam ini terus berulang tanpa respons lapangan yang sepadan, cuaca ekstrem pun berubah menjadi bencana. Bukan semata karena faktor alam, melainkan akibat kelalaian kolektif dalam membaca dan menindaklanjuti tanda-tanda yang telah dikirimkan.
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memberikan mandat yang sangat jelas. Negara wajib melakukan mitigasi, pengurangan risiko bencana, menggunakan data ilmiah, dan melindungi warganya. Ini berarti negara tidak diperkenankan menunggu bencana terjadi, melainkan berkewajiban mengurangi potensi dampaknya sejak tahap perencanaan.
Sayangnya, di banyak daerah mitigasi masih sering dipandang sebagai kegiatan tambahan, bukan bagian inti dari tata kelola pembangunan. Perencanaan berbasis risiko belum berjalan konsisten, anggaran mitigasi kerap tidak menjadi prioritas, koordinasi antarlembaga bergerak lambat, dan peta risiko belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam rencana tata ruang yang komprehensif. Akibatnya, regulasi yang kuat tidak otomatis menghasilkan perlindungan yang kuat ketika implementasinya melemah.
Peran sektor privat juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan ini. Tulisan ini tidak menunjuk pelaku secara spesifik karena tuduhan langsung memerlukan pembuktian hukum. Namun secara umum, berbagai kajian akademik menunjukkan bahwa konversi hutan dalam skala besar, praktik pertanian tanpa manajemen drainase yang memadai, pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, serta eksploitasi sumber daya dengan pengawasan minimal telah menggerus kemampuan alami wilayah untuk menyerap air. Ketika keuntungan jangka pendek mengalahkan keselamatan jangka panjang, dan pengawasan tidak berjalan efektif, kerentanan lingkungan tumbuh lebih cepat daripada kapasitas mitigasi.
Jika dilihat secara menyeluruh, inaRISK, peringatan BMKG, dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana sebenarnya telah disediakan negara sebagai sistem perlindungan. Namun sistem tersebut menjadi tidak efektif ketika data tersedia tetapi tidak digunakan, peringatan ada tetapi tidak ditindaklanjuti, regulasi kuat tetapi tidak ditegakkan, lingkungan rusak tetapi tidak dipulihkan, dan investasi berjalan tanpa prinsip keberlanjutan.
Banjir yang terus berulang bukanlah semata takdir atau nasib buruk. Bencana terbentuk ketika risiko yang telah diketahui tidak direspons dengan keseriusan yang setara. Karena itu, pengurangan bencana hanya akan terjadi jika seluruh pemangku kepentingan—pemerintah pusat dan daerah, sektor usaha, serta masyarakat—bergeser dari pola respons setelah kejadian menuju pendekatan pengurangan risiko sebelum bencana terjadi.
Perubahan itu menuntut tata ruang berbasis peta risiko, pengawasan lingkungan yang tegas, pembangunan yang menghormati daya dukung alam, sistem peringatan dini yang benar-benar diaktifkan, serta kolaborasi lintas sektor yang konsisten. Pada akhirnya, bencana bukan hanya soal curah hujan atau kondisi geografis, melainkan soal pilihan kebijakan. Kita tidak kekurangan data, tidak kekurangan peringatan, dan tidak kekurangan regulasi. Yang masih kurang adalah kesediaan kolektif untuk menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama. Selama itu belum terwujud, banjir bukan sekadar bencana alam, melainkan konsekuensi dari keputusan manusia.
















