Oleh: Meilani Dwi Nayla A, Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kudus
[email protected]
Dalam perjalanan sejarah politik Indonesia, mahasiswa kerap ditempatkan pada posisi istimewa. Mereka dipandang sebagai kelompok dengan idealisme paling murni, keberanian paling tinggi, serta kejernihan moral yang sulit ditemukan pada aktor politik lainnya. Narasi besar dalam sejarah bangsa—mulai dari peristiwa 1966, 1998, hingga berbagai gelombang protes di era reformasi—selalu menghadirkan mahasiswa sebagai motor perubahan. Namun, setelah lebih dari dua dekade demokrasi berjalan, muncul satu pertanyaan yang tak terelakkan: masih relevankah mahasiswa sebagai pengawal demokrasi?
Pertanyaan ini penting diajukan bukan untuk meremehkan kontribusi mahasiswa, melainkan untuk mengevaluasi kembali posisi, peran, dan efektivitas mereka di tengah perubahan sosial-politik yang berlangsung sangat cepat. Demokrasi hari ini jelas berbeda dengan demokrasi sepuluh, dua puluh, atau bahkan lima puluh tahun lalu. Jika konteksnya berubah, maka bentuk partisipasi mahasiswa pun seharusnya ikut bertransformasi. Tanpa pembaruan, gerakan mahasiswa berisiko terjebak dalam romantisme sejarah, dikenang karena kejayaan masa lalu, tetapi kehilangan daya pengaruh pada masa kini.
Secara historis, mahasiswa Indonesia memang pernah menjadi aktor penentu perubahan politik. Mereka tampil sebagai kekuatan moral yang menekan rezim Orde Lama pada 1966, kembali menyuarakan kritik terhadap penyimpangan kekuasaan pada 1970-an, dan memainkan peran sentral dalam menjatuhkan Orde Baru pada 1998. Pada masa-masa tersebut, mahasiswa berada pada posisi yang relatif independen, tidak terikat kepentingan politik jangka pendek, dan memiliki jarak kritis terhadap kekuasaan. Kondisi inilah yang menjadikan mereka dikenal sebagai guardian of morality dalam sistem demokrasi.
Namun, konteks politik kontemporer telah banyak berubah. Demokrasi Indonesia kini bergerak ke arah yang semakin prosedural dan kompleks, dengan berbagai regulasi, lembaga, serta mekanisme partisipasi yang bersifat teknokratis. Dalam situasi seperti ini, aksi jalanan tidak selalu efektif jika berdiri sendiri. Pengawalan demokrasi menuntut pemahaman kebijakan publik, hukum, teknologi informasi, dan komunikasi politik yang lebih mendalam. Mahasiswa tidak cukup hanya bersikap kritis, tetapi juga dituntut kompeten secara intelektual dan strategis.
Di sisi lain, politisasi kampus dan organisasi mahasiswa semakin mengaburkan independensi moral gerakan mahasiswa. Afiliasi politik yang kuat membuat sebagian gerakan dipersepsikan sebagai perpanjangan kepentingan elite tertentu. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap mahasiswa sebagai kekuatan moral pun cenderung menurun. Tantangan lain datang dari budaya digital yang sarat distraksi. Kritik politik lebih sering hadir dalam bentuk meme, komentar singkat, atau konten viral yang cepat menghilang, dibandingkan kajian mendalam dan gerakan kolektif yang berkelanjutan. Kesadaran politik mahasiswa pun kerap mengikuti logika viralitas, sehingga banyak isu penting terabaikan karena dianggap tidak menarik perhatian media sosial.
Meski demikian, mahasiswa tidak serta-merta kehilangan relevansinya. Mereka masih memiliki sejumlah modal penting dalam mengawal demokrasi. Dibandingkan kelompok kepentingan lain, mahasiswa relatif lebih bebas dari kepentingan politik pragmatis. Kampus juga menyediakan ruang intelektual yang memungkinkan mahasiswa mengakses literatur, teori demokrasi, serta kajian kebijakan publik secara kritis. Selain itu, mahasiswa tetap memiliki kekuatan mobilisasi yang besar, baik di ruang fisik maupun digital, melalui jaringan organisasi, kampus, dan media sosial.
Artinya, relevansi mahasiswa masih ada, tetapi cara menjalankan perannya harus diperbarui. Gerakan mahasiswa tidak bisa terus bergantung pada pola lama dengan menjadikan aksi turun ke jalan sebagai satu-satunya simbol perjuangan. Tantangan zaman menuntut pendekatan yang lebih cerdas dan beragam. Mahasiswa perlu terlibat dalam pengawalan kebijakan berbasis data, menyusun kajian dan rekomendasi yang argumentatif, serta menghadirkan kritik yang konstruktif. Di era digital, mahasiswa juga memiliki peran strategis dalam meningkatkan literasi politik dan melawan disinformasi dengan mengisi ruang publik daring melalui konten edukatif dan diskusi yang bermutu.
Kampus pun perlu kembali dihidupkan sebagai ruang deliberasi. Forum kajian, debat publik, dan diskusi kritis harus menjadi denyut utama kehidupan akademik. Tanpa ruang refleksi dan dialog, demokrasi hanya akan melahirkan opini instan tanpa kedalaman. Di luar kampus, mahasiswa juga dituntut untuk kembali mendekat ke masyarakat melalui advokasi akar rumput, pendampingan kelompok rentan, dan keterlibatan dalam isu-isu lingkungan serta keadilan sosial. Bahkan, keterlibatan di ruang politik formal patut dipertimbangkan, selama dilakukan dengan menjaga integritas dan tidak terjebak pragmatisme kekuasaan.
Namun demikian, tantangan terbesar mahasiswa justru datang dari dalam. Fragmentasi gerakan, minimnya pendalaman isu, ketergantungan pada simbol-simbol lama, serta apatisme sebagian mahasiswa menjadi persoalan serius yang harus diatasi. Tanpa konsolidasi, penguatan kapasitas intelektual, dan kesadaran kolektif, peran mahasiswa akan semakin melemah.
Di tengah melemahnya berbagai institusi pengawas demokrasi, peran mahasiswa justru menjadi semakin penting. Jika mahasiswa melepaskan tanggung jawab historisnya, ruang pengawasan moral dalam demokrasi akan semakin kosong. Relevansi mahasiswa tidak diberikan secara otomatis; ia harus diciptakan dan dibuktikan melalui sikap kritis, independensi, kecerdasan strategi, serta keberpihakan nyata pada kepentingan rakyat.
Pada akhirnya, mahasiswa memang masih relevan dalam mengawal demokrasi, tetapi hanya jika mereka bersedia berubah dan beradaptasi. Demokrasi bukan ruang yang statis, melainkan arena perjuangan yang terus berevolusi.
Mahasiswa, sebagai agen perubahan, harus menjadi bagian dari evolusi itu. Demokrasi membutuhkan mahasiswa, dan masyarakat pun membutuhkannya. Namun sebelum itu, mahasiswa perlu kembali menyadari mengapa mereka pernah disebut sebagai moral force dan agent of change, lalu membuktikannya kembali dalam konteks zaman yang berbeda.


















