Ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, tujuan utamanya jelas yaitu meningkatkan mutu dan keselamatan pasien, sekaligus memastikan hanya tenaga kesehatan berkompetensi formal yang berhak melakukan tindakan medis. Namun di balik tujuan yang mulia itu, muncul kekhawatiran besar, terutama bagi masyarakat di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T).
Selama bertahun-tahun, tukang gigi dan mantri menjadi salah satu solusi kesehatan paling mudah dijangkau bagi masyarakat di wilayah yang minim tenaga medis formal dan masyarakat kalangan menengah ke bawah. Mereka menawarkan layanan sederhana seperti pemasangan gigi palsu atau suntikan pengobatan dasar dengan biaya yang jauh lebih terjangkau dibanding fasilitas kesehatan formal. Bagi sebagian masyarakat, kehadiran mereka bukan sebatas alternatif, melainkan satu-satunya pilihan.
Kini, keberadaan mereka terancam. UU Kesehatan No 17 tahun 2023 memperketat definisi tenaga kesehatan yaitu hanya profesi dengan pendidikan formal dan sertifikasi resmi yang boleh melakukan tindakan medis. Secara otomatis, praktik tukang gigi dan mantri yang tidak didukung pendidikan formal masuk dalam wilayah ilegal dan berisiko ditindak.
Dari perspektif keselamatan, penertiban ini memiliki alasan kuat. Praktik invasif oleh tenaga yang tidak tersertifikasi dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti infeksi, kerusakan jaringan, hingga kondisi gawat darurat. Karenanya, organisasi profesi telah lama mendesak pemerintah untuk meningkatkan standar kompetensi demi perlindungan konsumen.
Namun, persoalannya tidak berhenti di situ. Di banyak wilayah 3T, masyarakat memiliki akses terbatas ke rumah sakit atau puskesmas akibat jarak, biaya, dan keterbatasan tenaga kesehatan formal. Ketika praktik tukang gigi/mantri ditutup tanpa mekanisme transisi, masyarakat dikhawatirkan justru kehilangan akses layanan dasar.
Dalam kajian yang beredar luas di sektor kesehatan, muncul beberapa poin krusial:
1. Tukang gigi dan mantri selama ini mengisi kekosongan layanan kesehatan, terutama di wilayah terpencil.
2. Penertiban mendadak dapat menimbulkan kesenjangan akses dan memperburuk ketimpangan layanan.
3. Tujuan transformasi kesehatan berpotensi berbenturan dengan realitas sosial-ekonomi masyarakat lapangan.
Dengan demikian, inti perdebatan saat ini bukan sekadar “boleh atau tidak boleh”, melainkan bagaimana menyeimbangkan dua hal yang sama-sama penting, yaitu keselamatan pasien dan keterjangkauan layanan kesehatan.
Untuk menghindari kekosongan layanan, sejumlah opsi kebijakan mulai diperbincangkan:
1) Sertifikasi terbatas atau jalur “grandfathering” hanya untuk tindakan non-invasif pada praktisi lama.
2) Program pelatihan singkat (bridging) agar tukang gigi/mantri dapat memperoleh legalitas minimum dan diawasi.
3) Alih peran ke layanan primer seperti edukasi, skrining, dan rujukan, bukan tindakan invasif.
4) Komunikasi kebijakan yang lebih bertahap dan humanis, bukan penertiban langsung.
Pendekatan adaptif semacam ini dianggap dapat menjaga standar tanpa menghilangkan akses masyarakat, terutama di wilayah dengan ketimpangan tenaga kesehatan.
Transformasi kesehatan memang penting, tetapi ia tidak boleh hanya terjadi pada teks regulasi atau di kota-kota besar saja. Ia harus menyentuh sampai sudut-sudut negeri. Karena pada akhirnya, standar kesehatan setinggi apa pun tidak akan bermakna jika sebagian rakyat justru kehilangan layanan yang paling dasar, yaitu akses untuk tetap sehat.
Oleh: Kelompok 7 OKSITOSIN ETIK01:
Mochamad Choirul Hudha (191251002)
Syarifah Najwa Nazed (432251040)
Naila Zhafira Mukti (121251008)
Vinda Nidya Riyanti (414251020)
Khairun Nisa (121251001)
Ega Maulana Putra Asari (121251005)
Nayla Agrystha Suhantoro (161251026)
Andini Dwi Ramdhani (111251003)
Chello Mitha Risdyani Munandar (414251018)
Shafira Mazaya Putri Juanda (151251007)
Mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya


















