Sebagai sebuah sistem pendidikan, pondok pesantren sesungguhnya adalah lembaga pendidikan paling ideal. Sebab, pendidikan di dalamnya diselenggarakan bukan hanya full day, tetapi bahkan full time. Dari bangun tidur, sampai tidur kembali para santri-murid menjalani proses pendidikan. Bahkan tidur pun termasuk dalam bagian pendidikan kalau dilihat dari aspek menjalankan cara tidurnya. Karena itu, pondok pesantren mestinya memberikan harapan besar akan lahir generasi masa depan yang berkualitas lengkap. Prototipenya adalah Nabi Muhammad, yang bisa disebut sebagai pribadi “muslim intelektual profesional”.
Namun, saat ini, pesantren belum bisa optimal dalam menghasilkan sumber insani yang diharapkan akan menjadi pelopor penggerak pembangunan umat dan bangsa itu. Sebab, pondok pesantren masih belum dijadikan sebagai pilihan utama. Bahkan, banyak yang memasukkan anak ke dalam pondok pesantren dengan tujuan agar anak memiliki pengetahuan agama ala kadarnya saja, karena khawatir tidak mendapatkan capaian materi secara optimal. Padahal, jika ada keseriusan, kualitas SDM yang dihasilkan, akan benar-benar lengkap. Dunia dan akhirat yang baik akan didapatkan secara bersama-sama.
Bagaimana menyikapi fenomena ini? PikiranBangsa.co melakukan wawancara eksklusif dengan Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasuh Pesantren Nurul Furqon Planet NUFO, Rembang dan Guru Utama di Rumah Perkaderan-Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang. Berikut petikan wawancara dengan dosen ilmu politik di Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ yang akrab disapa Abana itu:
PikiranBangsa: “Apa sebenarnya nilai lebih pondok pesantren dibandingkan lembaga pendidikan yang bukan pondok pesantren?”
Abana: “Ini kita bicara pondok pesantren yang di dalamnya sudah terdapat reintegrasi sains-teknologi ke dalam Islam ya. Bukan sekedar belajar membaca kitab kuning dan belajar doa-doa saja. Kalau sudah dengan program reintegrasi dan dijalankan secara sungguh-sungguh, keunggulannya dibandingkan lembaga pendidikan bukan pondok pesantren sangat banyak.”
PikiranBangsa: “Nah apa sajakah itu?”
Abana: “Pertama, anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan tentang dunia dan akhirat sekaligus. Indonesia ini didisain sebagai sebuah negara-bangsa yang religius berdasarkan Pancasila. Visi kita tidak terbatas hanya di dunia saja, tetapi sampai kepada kehidupan akhirat. Tujuan terbesar kita ya masuk surga. Karena itu, lembaga pendidikan yang ideal adalah yang memberikan visi untuk mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan juga di akhirat, sebagaimana dalam doa harian kita yang sering disebut doa sapu jagat, rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah; Wahai Tuhan kami, mohon berikan kepada kami kebaikan di dunia ini, dan juga kebaikan di akhirat nanti. Maka paradigma yang harus dibangun oleh pendidikan kita bukan sekedar paradigma duniawi saja. Kehidupan dunia ini harus bisa dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan kehidupan yang baik di akhirat yang kekal kelak. Nah pesantren dengan sistem pendidikan yang terintegrasi, bisa memberikan itu.”
PikiranBangsa: “Kelebihan kedua apa?”
Abana: “Yang kedua, anaka-anak bisa mengoptimalkan waktu untuk belajar. Belajar di sini tentu saja bukan dalam arti belajar yang memforsir mereka dan membuat mereka bosan. Belajar di sini bisa didisain dengan cara yang menyenangkan, bahkan formatnya bisa dengan bermain. Pelajaran sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara bermain juga. Di pesantren ada ustadz, ada senior, ada teman sebaya yang memiliki kemampuan, bakat, dan minat yang berbeda-beda. Kehidupan bersama, memungkinkan anak-anak belajar kapan saja di lingkungan pesantren kepada siapa saja yang mereka inginkan. Ini akan membuat mood belajar mereka terjaga. Bahkan bisa memberikan motivasi tersendiri. Anak-anak kita bisa belajar berbagai macam disiplin ilmu. Kalau di rumah, mereka akan mengarah kepada aktivitas yang kurang atau bahkan tidak produktif. Biasanya waktu habis hanya untuk menonton dan bermain game.”
PikiranBangsa: “Masih ada yang ketiga, Bah?”
Abana: “Ya ada. Yang ketiga, anak-anak terbiasa hidup bersama dengan banyak orang. Kehidupan bersama ini membuat mereka mengasah kecerdasan emosional. Bahkan kalau dikelola dengan baik, bisa menjadi medan pelatihan menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Di Pesantren Planet NUFO misalnya, para santri-murid kami fasilitasi dengan berbagai macam organisasi, baik intra maupun ekstra. Ada OSIS di sekolah, ada kepengurusan pesantren, ada organisasi-organisasi underbow ormas seperti IPM untuk santri-murid dari keluarga Muhammadiyah, ada IPNU untuk santri murid berlatar belakang NU, juga ada PII. Dengan keberadaan organisasi-organisasi itu, para santri-murid bisa berlatih untuk berkompetisi dan juga bersinergi. Berkompetisi untuk mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin. Tapi setelah kompetisi selesai, mereka harus mampu melakukan bukan hanya kerjasama, tetapi juga sinergi, agar mereka bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri dan tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesamaan kemampuan. Kalau kerjasama 1 ditambah 1 sama dengan 2. Tapi kalau sinergi, bisa sama dengan 1000.”
PikiranBangsa: “Mantap sekali ini konsepnya. Tapi apakah dalam implementasinya semua anak bisa melakukan ini?”
Abana: “Nah di lapangan tentu saja kita akan menemukan realita yang seringkali tak sesuai dengan cita-cita. Karena itu, diperlukan kecermatan untuk mengelola pondok pesantren ini. Intinya tidak bisa asal-asalan saja. Lillaahi ta’aalaa itu pasti. Tapi pengelolaan sesuai dengan data, perlu sekali. Yang pasti, untuk bisa mencapai capaian optimal, diperlukan santri-murid yang berkualitas. Kalau santri-muridnya tidak berkualitas, mau diajar dan dididik oleh guru-guru yang bergelar profesor doktor juga tidak bisa yang diinginkan.”
PikiranBangsa: “Apa masalah umum dalam konteks kualitas santri-murid ini?”
Abana: “Pesantren masih sering, tidak selalu ya, tapi masih sering dianggap sebelah mata. Atau dipandang secara keliru. Misalnya, kalau anak tidak diterima di sana sini, kemudian diminta untuk mondok saja. Semoga menjadi anak shalih shalihah. Saya sering dapat pengakuan dari ortu, karena anaknya tidak diterima di perguruan tinggi negeri impian, maka kemudian sembari menunggu tahun berikutnya, mereka mondok dan menghafalkan al-Qur’an dulu. Lo memangnya mondok dan menguasai al-Qur’an ini bisa dilakukan oleh anak-anak “buangan” dan orientasi hidupnya bukan untuk belajar Islam. Tidak bisa begitu.”
PikiranBangsa: “Kalau sudah begitu, bagaimana solusinya?”
Abana: “Solusinya ya membuat pesantren memiliki visi yang jelas untuk melahirkan SDM berkualitas muslim intelektual profesional. Dari awal, harus direkrut anak-anak yang memiliki potensi bagus. Misalnya, IQ harus di atas 105. Ini kan tidak tinggi-tinggi amat. Namun, berdasarkan riset yang saya lakukan, anak-anak yang bisa diajari dengan cepat untuk mengartikan dan kemudian menghafalkan al-Qur’an secara total 30 juz ber-IQ minimal 105. Kalau di bawah itu secara umum hanya mampu menghafal rata-rata 13 juz saja. Maksimal 23 juz. Kalau ada yang punya data lain, saya boleh juga dikoreksi.”
PikiranBangsa: “Kenapa harus menghafalkan al-Qur’an?”
Abana: “Kita kan mau melahirkan kader muslim intelektual profesional. Maka mereka harus benar-benar menguasai al-Qur’an secara total. Tidak parsial. Kalau mau total, komprehensif, ya mesti dihafalkan dengan basis kemampuan mengartikan. Ini yang akan membuat mereka paham. Sebab, hafalan dengan kemampuan mengartikan, memungkinkan mereka melakukan perenungan untuk mendapatkan pemahaman yang sudah melalui proses interkoneksi antara satu ayat dengan ayat lain yang berhubungan. Ini yang akan melahirkan pemahaman yang benar. Nah, pemahaman yang benar itulah yang akan dijalankan. Dan untuk bisa menjalankan itu, para santri-murid harus memiliki harta yang cukup. Nah, di pesantren, mereka bisa mengoptimalkan latihan untuk memiliki ketrampilan wirausaha. Ingat, bahwa sejarah ini digerakan oleh materi. Agama ini juga bisa bertahan dan berkembang karena ditopang oleh harta para pejuang. Al-Qur’an jelas sekali berkali-kali mengatakan bahwa berjuang itu pakai harta dan jiwa. Di antara ayatnya adalah wa jaahiduu bi amwaalikum wa anfusikum. Nah, proses pendidikan yang holistik ini, belajar ilmu, belajar wirausaha, dan juga kepemimpinan, bisa dilakukan di pondok pesantren”. *