Media sosial memang membawa banyak manfaat, seperti mempermudah komunikasi dan memberikan akses informasi secara cepat. Namun, ada sisi gelap yang sering tidak kita sadari, yaitu menurunnya empati sosial. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, yang menjadi fondasi penting dalam hubungan sosial.
Menurut teori Interaksionisme Simbolik dari Herbert Blumer, makna dalam interaksi sosial dibentuk dari simbol-simbol yang kita gunakan saat berkomunikasi. Di media sosial, simbol-simbol itu bisa berupa emoji, komentar singkat, atau tanda “like.” Masalahnya, interaksi seperti ini terlalu sederhana untuk benar-benar mewakili emosi atau perasaan seseorang. Akibatnya, komunikasi yang terjadi sering kali hanya permukaan dan tidak membantu kita memahami kondisi orang lain dengan lebih mendalam.
Fenomena ini juga didukung oleh pandangan Nasrullah (2023) dalam bukunya “Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi.” Ia menjelaskan bahwa media sosial sering kali menghilangkan elemen kehadiran fisik, seperti ekspresi wajah atau bahasa tubuh, yang sangat penting dalam membangun empati. Karena itu, hubungan di media sosial cenderung menjadi dangkal dan kurang mendalam, bahkan ketika menyangkut hal-hal emosional.
Selain itu, media sosial juga menyebabkan fenomena desensitisasi, yaitu ketika kita terlalu sering terpapar pada konten emosional seperti berita bencana, kekerasan, atau kemiskinan, sehingga lama-kelamaan kita menjadi kebal dan kurang tergerak. Menurut Suryani (2023), fenomena ini bahkan berkembang menjadi apa yang disebut sebagai “komodifikasi empati,” di mana perasaan empati berubah menjadi transaksi, seperti dalam fitur live streaming di TikTok. Orang memberikan donasi atau hadiah bukan semata-mata karena empati tulus, melainkan karena ingin diakui atau terlihat peduli di mata orang lain.
Komunikasi di media sosial juga kehilangan konteks yang sering membuat interaksi terasa hampa. Seperti yang dijelaskan dalam teori Face Negotiation dari Stella Ting-Toomey, banyak pengguna media sosial lebih fokus menjaga citra diri (saving face) di mata publik. Hal ini membuat empati sering kali ditampilkan secara performatif, bukan karena benar-benar peduli. Misalnya, orang mengomentari masalah sosial hanya untuk mendapat pujian atau perhatian, tanpa benar-benar memahami perasaan orang yang sedang mengalami masalah tersebut.
Penurunan empati ini harus jadi perhatian kita bersama. Media sosial memang memudahkan komunikasi, tapi interaksi tatap muka tetap sangat penting untuk membangun hubungan yang lebih bermakna. Kita perlu lebih sadar dalam menggunakan media sosial, seperti memberikan komentar yang lebih reflektif dan mencoba memahami konteks perasaan orang lain. Dengan begitu, kita tidak kehilangan kemampuan untuk peduli dan merasakan emosi orang lain, meskipun hidup di tengah era digital. Sebagai pengguna media sosial, kita harus ingat, seperti yang dikatakan McLuhan (1964) dalam “Understanding Media,” “Teknologi hanyalah alat; manusia yang menentukan bagaimana alat itu digunakan.” Maka dari itu, mari gunakan media sosial untuk saling mendukung secara tulus, bukan sekadar membangun citra diri.
Oleh: Barik Asep Syaifurrachman, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi Dan Penyiaran Islam UIN Salatiga