Oleh: Taufiq Ardyan Wahid, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Salatiga
Perkuliahan adalah fase penting dalam hidup seseorang, di mana pengetahuan, keahlian, dan relasi sosial dibangun sebagai bekal untuk memasuki dunia profesional. Namun, di tengah dinamika perkuliahan, kompetisi sering kali menjadi elemen yang tidak terelakkan. Anak-anak muda yang membawa ambisi besar ke dunia kampus sering kali dihadapkan pada dilema etis, terutama ketika ambisi itu mendorong mereka ke arah kompetisi yang berlebihan. Dalam konteks ini, etika komunikasi memainkan peran penting untuk menjaga harmoni.
Kompetisi di dunia perkuliahan dapat memotivasi mahasiswa untuk mencapai potensi terbaik mereka. Akan tetapi, ketika ambisi berubah menjadi obsesi untuk menjadi yang terbaik, dampak negatif mulai muncul. Mahasiswa yang terlalu kompetitif cenderung menggunakan strategi komunikasi yang manipulatif atau tidak etis, seperti menyebarkan desas-desus untuk menjatuhkan pesaing, menyembunyikan informasi penting dari teman satu kelompok, atau bahkan mengklaim hasil kerja kelompok sebagai milik pribadi.
Fenomena ini tidak hanya menciptakan atmosfer yang tidak sehat di antara mahasiswa, tetapi juga dapat merusak hubungan personal dan profesional. Mahasiswa yang terjebak dalam pola pikir seperti ini cenderung kehilangan kemampuan untuk membangun kerja sama yang efektif. Padahal, dalam dunia profesional, kemampuan berkomunikasi dengan etis dan kolaboratif sangat dihargai.
Etika komunikasi dalam perkuliahan menjadi landasan untuk menciptakan lingkungan belajar yang harmonis. Etika ini mencakup prinsip kejujuran, penghormatan terhadap orang lain, dan komitmen terhadap transparansi. Namun, dalam realitas perkuliahan, tekanan akademik dan sosial sering kali membuat mahasiswa mengabaikan nilai-nilai ini. Mereka mungkin merasa bahwa keberhasilan pribadi lebih penting daripada menjaga hubungan baik dengan teman atau kolega.
Dampak dari pola komunikasi yang tidak etis ini dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan mahasiswa. Di satu sisi, mereka mungkin mencapai prestasi akademik yang tinggi. Namun, di sisi lain, mereka kehilangan kepercayaan dari teman-teman mereka, menghadapi isolasi sosial, dan merasakan tekanan emosional yang tinggi. Dalam jangka panjang, pola pikir ini dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi di dunia kerja, di mana kerja tim dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang terintegrasi dari berbagai pihak. Pertama, kampus perlu memperkenalkan program pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai etika dalam komunikasi. Program ini dapat berupa seminar, lokakarya, atau diskusi kelompok yang membahas pentingnya empati, kejujuran, dan kerja sama dalam kehidupan akademik.
Kedua, dosen dapat memainkan peran penting dengan memberikan contoh dalam interaksi sehari-hari. Mereka dapat mendorong suasana kompetisi yang sehat dengan menekankan pentingnya proses belajar daripada sekadar hasil akhir. Selain itu, pemberian penghargaan untuk mahasiswa yang menunjukkan kerja sama dan sikap sportif juga dapat menjadi langkah positif.
Ketiga, mahasiswa sendiri perlu menyadari bahwa keberhasilan tidak selalu diukur dari prestasi individu, tetapi juga dari kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat dan saling mendukung. Mahasiswa dapat mempraktikkan etika komunikasi dengan mendengarkan pendapat orang lain, menghormati perbedaan, dan berkomitmen untuk bekerja secara kolektif demi tujuan bersama.
Dalam kesimpulannya, ambisi adalah elemen penting yang mendorong mahasiswa untuk mencapai tujuan mereka. Namun, ambisi yang tidak dikendalikan dapat merusak harmoni di dunia perkuliahan, terutama melalui pola komunikasi yang tidak etis. Dengan menanamkan nilai-nilai etika komunikasi, baik melalui pendidikan formal maupun praktik sehari-hari, harmoni dapat tetap terjaga, dan mahasiswa tidak hanya akan menjadi individu yang sukses secara akademik, tetapi juga manusia yang lebih baik secara sosial.