Oleh: Fachri Irfan Syah, Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Salatiga
Pagi itu, angin laut berhembus pelan, menyentuh kulit dengan sentuhan dingin yang menyegarkan. Di sebuah warung kecil yang terletak di tepi pantai, aku duduk seorang diri dengan secangkir kopi hangat di tangan. Laut biru di hadapanku bergelora pelan, ombak kecil berdebur lembut, seakan ikut menikmati keheningan pagi yang hampir sempurna.Ini adalah rutinku setiap akhir pekan. Melarikan diri dari hiruk-pikuk kota, dari keramaian yang memusingkan, dan mencari ketenangan di tempat yang tak banyak orang tahu.
Warung kecil ini milik Pak Wawan, pria paruh baya yang memilih tinggal di sini setelah pensiun dari pekerjaan kantornya yang dulu. Dia selalu menyambut dengan senyum ramah setiap kali aku datang, meskipun aku tahu tak banyak orang yang mampir ke sini.
“Cuaca cerah hari ini, ya?” tanya Pak Wawan sambil menyiapkan kopi. Suaranya yang berat terdengar menenangkan, seakan dia sudah terbiasa berbicara dengan alam.
“Iya, Pak. Langit biru banget.”
Aku mengangguk sambil menatap laut yang semakin terang diterpa sinar matahari. Rasanya, dunia ini seperti berhenti sejenak, memberi kesempatan untuk bernapas lebih dalam.Pak Wawan meletakkan secangkir kopi hitam di meja. Aromanya menyebar, menyatu dengan aroma laut yang khas. Aku meminum kopi itu pelan-pelan, menikmati setiap tegukan yang terasa hangat di tenggorokan.
“Kamu sering ke sini, ya?” tanya Pak Wawan, duduk di kursi sebelahku.
Matanya menyiratkan keingintahuan, tapi juga kebiasaan untuk mendengarkan tanpa menghakimi.
“Ya, hampir setiap minggu,” jawabku, sambil memperhatikan gelombang laut yang semakin tenang.
“Saya butuh waktu untuk sendiri, Pak. Kadang kota itu terlalu ramai, susah untuk mendengar pikiran sendiri.”
Pak Wawan mengangguk, seolah mengerti.
“Saya dulu juga begitu. Makanya saya memilih pindah ke sini. Laut ini, dengan segala ketenangannya, mengajarkan kita untuk lebih sabar. Untuk tidak terburu-buru.”
Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata Pak Wawan. Ada kebenaran dalam setiap ucapannya. Laut tak pernah terburu-buru, tapi ia selalu sampai ke pantai pada waktunya. Aku merasa, mungkin, aku juga harus belajar untuk lebih sabar.
“Kadang, saat kita merasa kehilangan arah, kita cuma butuh jeda,” lanjut Pak Wawan, menatap laut yang kini mulai dipenuhi sinar matahari.
“Coba lihat laut itu, dia tidak pernah khawatir tentang kemana arah ombaknya, dia hanya mengikuti alirannya.”
Aku menatap laut dengan lebih dalam, dan tiba-tiba merasa segala kekhawatiranku tentang masa depan, tentang pilihan hidup yang tak selalu jelas, terasa sedikit lebih ringan. Seperti ombak yang datang dan pergi, masalah-masalah itu pun akan berlalu pada waktunya.
“Terima kasih, Pak,” kataku, sambil meminum kopi lagi.
“Kadang, orang butuh lebih dari sekadar kopi untuk merasa tenang.” Pak Wawan tersenyum bijak.
“Benar. Tapi kopi itu bisa jadi teman yang baik saat kita ingin duduk dan berpikir.”
Aku menatap laut yang luas, memikirkan banyak hal. Terkadang, di tengah kesibukan hidup, kita lupa untuk berhenti sejenak, menikmati secangkir kopi di pagi hari, dan mendengarkan apa yang alam katakan.
Pagi ini, di tepi laut, aku merasa lebih damai. Seperti ombak yang terus datang tanpa henti, aku pun akan terus berjalan. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati kopi dan ketenangan ini, perlahan, seperti laut yang tak terburu-buru.