Oleh: Muhammad Syaiful Reza, Mahasiswa IAT UIN Walisongo Semarang
Setelah sebelumnya berhasil menyerang gudang persenjataan Iran Juni lalu, hari ini, Kamis 7 Agustus, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan statement berupa ajakan kembali kepada negara-negara Arab untuk mengikuti Abraham Accords yang menurutnya dapat memastikan kedamaian di wilayah Timur Tengah. Abraham Accords sendiri merupakan serangkaian perjanjian yang dicanangkan Trump pada tahun 2020, yang tujuan utamanya adalah untuk menormalisasi hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab yang diawali oleh dengan Bahrain dan UEA pada tanggal 15 September 2020 di gedung putih Washington DC.
Normalisasi atau perjanjian damai negara Arab dan Israel sebenarnya bukan wacana baru. Pada tahun 1979, Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Menachem Begin (PM Israel) berjabat tangan di hadapan Jimmy Carter yang menandai berakhirnya konflik 30 tahun antar kedua negara tersebut. Yordania pun sudah melakukan hal serupa pada tahun 1994.
Padahal jika berkaca dengan yang sudah-sudah, siapapun akan mengamini kalau segala bentuk diplomasi dan ajakan perdamaian yang berhubungan dengan Israel adalah kebohongan belaka. Perjanjian Oslo beberapa dekade lalu terbukti tidak mengurangi kebengisan tentara Israel kepada masyarakat Palestina. Dan baru dua hari yang lalu Trump mengatakan kalau pendudukan total seluruh wilayah Gaza adalah sepenuhnya terserah Israel. Penjajahan, sebagaimana dikatakan Frantz Fanon, bukanlah sistem yang mampu atau bisa diajak berpikir. Yang namanya penjajah tidak pernah bisa diajak berunding. Penjajahan merupakan kekerasan belaka, yang hanya tunduk jika dihadapkan dengan kekerasan yang lebih besar. Seharusnya pemimpin-pemimpin di Timur Tengah menyadarinya. Tapi karena dihalau kepentingan, apalagi yang menggagas adalah negara yang dianggap sebagai polisi dunia, pusat ekonomi dan politik global, mereka akhirnya tunduk dan lebih memilih untuk berdamai dengan musuh alih-alih mengecamnya.
Belajar dari Sejarah Setelah kejatuhan Granada oleh Kastila dan Aragon, banyak umat Islam yang terpaksa kabur dari Andalusia unruk menyelamatkan diri dan inquisisi. Banyak yang dibunuh, dipaksa murtad, dan ditawan. Yang menyelamatkan mereka adalah pasukan armada Utsmani yang saat itu masih berada diatas awan. Salah satunya adalah Tugrul Reis yang berhasil membebaskan tujuh ribu umat Islam yang dipenjara di Pulau Korsika.
Sebelum sepenuhnya musnah, ketika kekuasaan Islam di wilayah Andalusia sudah semakin melemah, wilayah-wilayah yang dikuasai Islam sudah semakin banyak dicaplok kerajaan Kristen, yang membantu memulihkan keadaan adalah saudara sesama muslim di negeri seberang, tepatnya Maroko, yang dikenal sebagai golongan Murabithun. Beberapa ahli sejarah bahkan mengatakan kalau pertolongan Murabithun telah membendung laju Reconquista selama satu setengah abad.
Ketika Mongol menginvasi Abbasiyah yang kala itu memang tengah melemah bahkan sekarat, yang akhirnya menandingi dan mengalahkan Mongol datang dari Mesir, tepatnya dinasti Mamluk yang pasukannya dipimpin oleh Saifuddin Qutuz di perang Ain Jalut yang legendaris itu. Serangkaian peristiwa di atas menunjukkan kalau umat Islam, meskipun berada dalam tekanan, masih mempunyai kekuatan di wilayah lain untuk membantu dan membela. Meskipun berada di kawasan yang berbeda, di bawah komando pemimpin yang berbeda, tetap memperjuangkan hal yang sama; kemuliaan Islam dan pengikutnya serta perlwanan terhadap tirani yang mengancamnya.
Kini kita dihadapkan dengan dunia baru yang diistilahkan dengan new world order, dimana negara-negara adidaya seperi Amerika Serikat mempunyai legitimasi dalam kancah internasional melalui hak veto di PBB. Hegemoni politik dan ekonomi yang dimiliki membuat meraka dapat bertindak sesukanya. Sementara umat Islam, meskipun di beberapa negara mempunyai sumber daya dan kekuatan ekonomi yang besar, tetap ciut di hadapan mereka.