Oleh: Puteri Azzahra
Ketua OSIS SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Pamotan Rembang
Hujan deras mengguyur jendela besar vila megah di kawasan elit pinggir kota. Kilat sesekali menyambar langit, memantulkan cahaya pada dinding marmer dan lukisan-lukisan mahal yang menggantung di ruang tamu.
Di dalam kamar berwarna putih kebiruan yang dingin dan luas itu, seorang gadis kecil berusia sembilan tahun duduk memeluk lututnya di sudut ruangan. Ia mengenakan gaun tidur sutra warna biru muda yang terlalu indah untuk seseorang yang baru saja dipukul dengan hanger logam karena tidak menjawab ayahnya dengan sopan.
Namanya Amelia.
Ia cantik luar biasa, dengan mata bening seperti kristal, rambut bergelombang warna hitam legam, dan kulit pucat yang memancarkan kesan lembut. Tapi di balik kecantikannya, tersembunyi luka yang tak pernah dilihat dunia.
Ibunya, seorang mantan model terkenal, tak pernah menyentuh Amelia dengan kasih sayang. Ia lebih sibuk dengan wajah dan pengikut media sosialnya. Ayahnya, seorang pengusaha real estate sukses, adalah pria berwibawa di luar rumah, namun seorang monster di balik pintu-pintu tertutup vila itu.
“Aku benci anak ini! Dia tidak pernah seperti yang kuinginkan!” teriak sang ibu malam itu, setelah melemparkan vas bunga ke arah Amelia yang hanya diam ketakutan.
Sang ayah hanya mengangguk sambil menyalakan cerutunya. “Kalau kau tidak bisa dididik di sini, kau akan aku kirim ke asrama. Dan jangan berharap ada yang menyayangimu di sana.”
Dan begitulah, pada usia sembilan tahun, Amelia dikirim ke sebuah asrama perempuan yang dingin dan kaku, jauh dari rumah, jauh dari siapa pun yang bisa ia sebut “keluarga.”
Asrama yang Sunyi
Asrama itu berada di kota pegunungan. Bangunannya tua, dindingnya tebal, dan jendelanya tinggi-tinggi dengan jeruji besi tipis. Para pengurus asrama sopan, tetapi sangat kaku. Anak-anak di sana berasal dari berbagai latar belakang, sebagian karena yatim piatu, sebagian lagi karena ditelantarkan seperti Amelia.
Hari pertama, Amelia menangis dalam diam di kasurnya. Ranjang susunnya berada di dekat jendela. Ia tidak bisa tidur. Suara angin malam yang menggigit, dan tangis anak-anak lain, menjadi simfoni malam yang menyesakkan.
Ia menjadi penyendiri. Setiap pagi bangun lebih awal, mencuci muka dengan air dingin yang menusuk, lalu duduk di taman kecil belakang asrama, memandangi bunga-bunga yang belum mekar. Ia tidak suka keramaian. Bahkan saat anak-anak lain bermain, Amelia hanya diam, menatap langit, memeluk buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan.
Namun, sesuatu dari dirinya tetap memikat. Anak-anak lain sering memandangnya diam-diam. Wajahnya bersinar, tenang, seperti bulan yang mengambang sendirian di langit malam. Tapi siapa pun yang menatap matanya bisa merasakan luka yang dalam bekas kekerasan dan trauma yang belum sembuh.
Tahun demi tahun berlalu. Amelia tumbuh menjadi remaja yang cerdas, sangat mandiri, dan tetap menawan. Usianya kini hampir menginjak lima belas tahun. Ia telah lulus SMP dari sekolah asrama itu dengan nilai tertinggi.
Suatu siang, ia dipanggil ke ruang kepala asrama. Di sana sudah ada dua orang yang sangat dikenalnya, duduk berjauhan dengan wajah tegang, ayah dan ibunya.
“Kami sudah cerai,” kata ibunya dingin. “Dan pengadilan menyerahkan keputusan tinggal padamu.”
Ayahnya menyela, “Terserah kau tinggal dengan siapa. Tapi kau akan tetap dapat uang jajan. Aku tak peduli. Tapi kalau mau tinggal denganku, kau harus ikut semua peraturanku.”
Ibunya menambahkan dengan nada sinis,
“Kalau kau memilih tinggal denganku, setidaknya aku bisa pastikan kau tetap terlihat seperti anak orang kaya.”
Amelia menunduk. Ia tahu keduanya tidak benar-benar peduli. Mereka hanya ingin ‘memiliki’ dirinya sebagai bagian dari harga diri dan ego.
“Aku… tidak ingin tinggal dengan siapa pun,” katanya lirih. “Aku ingin tinggal sendiri. Kalian hanya perlu kirim uang jajan. Dan kalau kalian ingin melihatku, datang saja ke tempatku. Tapi jangan bawa masalah lagi.”
Ruangan itu menjadi senyap. Ayah dan ibunya saling berpandangan, terkejut sekaligus tersinggung. Tapi mereka mengiyakan. Mungkin karena malu. Mungkin karena lega mereka bisa bebas.
Amelia dibelikan Mansion dekat sekolah SMA pilihannya di kota. Ia membeli barang-barang untuk rumah kosong itu. Ia mengisi rumah itu dengan ketenangan yang tidak pernah ia dapat dari rumah.
Hari-harinya sepi tapi damai. Ia belajar, menulis diari, membaca buku psikologi, filsafat, belajar bisnis. Ia sering menangis di malam hari, memeluk bantal dan mengingat semua bentakan, tamparan, lemparan barang yang pernah ia terima. Tapi setiap pagi ia bangun dengan perasaan hampa.
Amelia menjadi siswi teladan. Ia tak hanya pintar, tapi bijak. Guru-guru kagum pada caranya bicara. Teman-temannya menghormatinya meskipun ia tidak banyak bicara. Ia membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia remaja yang bising.
Dan meski sendirian, ia tidak pernah mengasihani dirinya. Ia hanya berkata pada dirinya sendiri setiap malam:
“Dunia tidak pernah adil. Tapi aku tidak akan menjadi jahat karena itu. Aku akan jadi bukti, bahwa luka bisa berubah jadi cahaya.”
Luka yang Menyamar Jadi Pilihan
Amelia lulus dari SMA dengan predikat terbaik se-provinsi. Ia menolak semua ajakan pesta perpisahan yang gemerlap dan memilih merayakan malam itu dengan menulis satu kalimat di diarinya:
“Aku tidak tahu siapa aku di masa depan, tapi aku tahu siapa aku tidak ingin menjadi—mereka.”
Tak banyak yang tahu, Amelia telah bekerja diam-diam sejak usia 16. Ia mengelola toko daring kecil yang menjual pernak-pernik buatan tangannya, dan menjadi penulis lepas untuk beberapa situs luar negeri dengan nama samaran. Setiap sen ia tabung. Ia belajar investasi, membuat anggaran sendiri, dan saat ia menginjak 18 tahun, ia sudah punya cukup tabungan untuk hidup mandiri selama lima tahun tanpa bantuan siapa pun.
Ia merasa menang. Ia tidak kaya raya, tapi cukup. Dan cukup untuk Amelia, artinya bebas.
Tapi rupanya kebebasan tak datang tanpa bayangan dari masa lalu.
Beberapa hari setelah kelulusan, ia menerima pesan dari ayahnya:
“Selamat atas kelulusanmu. Sudah saatnya kamu melanjutkan hidup yang sesungguhnya. Kamu harus meneruskan bisnis ayah. Aku sudah siapkan semuanya.”
Amelia tidak membalas. Tapi telepon berdering malam itu.
“Kalau kau pikir bisa terus lari dari keluarga ini, kau salah,” suara ayahnya tajam tapi terkendali. “Kalau kau ingin hidup damai dan tidak dibuat susah, ikut aku. Kuliah yang aku bayari. Tinggal bersamaku di rumah baru. Aku sudah siapkan semuanya.”
Amelia terdiam cukup lama sebelum menjawab:
“Kalau begitu, ada satu syarat.”
“Apa?”
“Kita pindah. Kota baru. Rumah baru. Aku tidak ingin dikelilingi masa lalu. Aku akan ikut… tapi hanya jika kau berubah.”
Ada jeda panjang di ujung telepon sebelum akhirnya ayahnya setuju. Entah karena sungguh ingin berubah atau hanya ingin menang.
Rumah Baru, Luka Lama
Mereka pindah ke kota lain. Rumah baru ayahnya lebih modern, lebih sunyi, dan jauh dari keramaian media sosial maupun keluarga besar yang dulu sering mencampuri segalanya. Amelia punya kamar sendiri yang luas, ada balkon kecil dengan meja baca, dan dinding kaca yang menghadap ke taman belakang.
Ia masuk universitas swasta ternama. Jurusan manajemen bisnis, seperti yang ayahnya kehendaki.
Setiap pagi, ia sarapan bersama ayahnya di meja panjang yang sepi. Suara sendok dan piring lebih keras daripada suara mereka. Ayahnya sudah tidak memukul atau berteriak, tapi Amelia tahu… itu bukan karena cinta. Itu karena kontrol.
“Sudah aku kirimkan jadwal rapat tim. Kau ikut aku akhir pekan ini ke Jakarta,” kata ayahnya suatu malam.
“Aku punya ujian Senin. Aku harus belajar,” jawab Amelia pelan.
“Ujian bisa diulang. Tapi kepercayaan rekan bisnis ayah tidak bisa.”
Amelia hanya menunduk. Tubuhnya di sana, tapi jiwanya mengembara. Ia tahu, ini bukan kehidupan yang ia impikan. Tapi ia juga tahu, terkadang, untuk mengalahkan monster, kau harus berdiri cukup dekat untuk memahaminya dulu.
Amelia tidak tinggal diam. Setiap malam, setelah ayahnya tidur, ia kembali pada laptopnya. Ia menulis. Ia membangun bisnis kecilnya kembali secara online. Ia menyusun rencana untuk hidupnya yang benar-benar miliknya.
Ia membuka kursus daring tentang psikologi trauma dan healing. Ia mulai menulis e-book. Ia membuka komunitas rahasia untuk para remaja yang terluka oleh keluarganya. Nama samarannya dikenal: “Aurora.” Dan komunitas itu tumbuh. Menjadi cahaya bagi ratusan orang muda lain yang merasa sendirian.
Ia tahu, pada waktunya, ia akan bisa benar-benar pergi. Tapi kali ini bukan karena lari, melainkan karena ia tahu ke mana arah hidupnya sendiri.
Di Antara Dua Dunia
Amelia kini hidup di dua dunia. Di siang hari, ia adalah anak dari seorang pebisnis sukses. Di malam hari, ia adalah seorang penyembuh yang membalut luka orang lain sambil merawat lukanya sendiri.
Ia tidak menyesal. Ia tidak marah. Ia hanya tahu bahwa beberapa luka tidak bisa dihapus, tapi bisa dijadikan alas pijakan.
Ia belajar menertawakan trauma, merangkul sunyi, dan menemukan makna baru dari kata “rumah.”
Dan meski ayahnya tetap seperti dulu—dingin, mengatur, dan penuh ambisi—Amelia perlahan berubah menjadi seseorang yang lebih kuat dari semua itu.
Bukan karena ia tidak takut, tapi karena ia tidak lagi membiarkan rasa takut menentukan jalannya.
Kebenaran yang Tak Pernah Diminta
Malam itu langit mendung. Hujan turun pelan, seperti mengiringi suasana hatiku yang tak bisa dijelaskan. Rumah baru ayah yang biasanya terasa dingin, malam itu justru terasa lebih sunyi dari biasanya.
Aku baru selesai membuat laporan untuk bisnis kecilku saat ayah tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Tidak biasanya. Wajahnya pucat, langkahnya lambat. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berat di belakang matanya.
“Amelia, ikut aku ke ruang kerja.”
Tanpa banyak kata, aku mengangguk. Kami duduk berhadapan. Di atas meja ada dua gelas teh yang mulai mendingin, dan selembar amplop tertutup di dekat tangannya.
“Aku tidak akan lama,” katanya. “Tapi ini sudah waktunya.”
Aku hanya menatapnya. Menunggu.
Ayah mendesah. Lama. Matanya menerawang ke jendela. “Waktu itu… ketika aku memukulmu untuk pertama kalinya. Aku bilang itu karena kamu tidak sopan. Kadang aku juga bilang karena aku stres soal bisnis…”
Aku mengangguk pelan. Semua alasan itu sudah kuhafal sejak kecil.
“…Tapi itu semua bohong.”
Aku mengerutkan dahi. “Bohong?”
Ia menatapku lurus. Dan di sanalah semuanya berubah.
“Karena kamu bukan anak kandungku, Amelia.”
Aku membeku. Jantungku seolah berhenti berdetak.
“Apa… maksudmu?” suaraku tercekat.
Ayah menggenggam kedua tangannya, menatap ke bawah seolah ingin menghindari sorot mataku. “Sebelum aku dan ibumu menikah… dia berselingkuh. Dengan laki-laki yang bahkan tidak aku kenal. Tapi kami tetap menikah karena saat itu dia sudah mengandung kamu.”
Sakit. Kata-kata itu seperti belati yang mengiris pelan-pelan. Jelas. Dalam. Berdarah.
“Selama ini… kau tahu?” bisikku.
“Aku tahu dari awal. Aku berusaha mencintaimu. Tapi aku gagal. Aku terlalu marah pada ibumu. Terlalu marah pada diriku sendiri karena tetap bertahan dalam hubungan itu. Tapi yang paling kuingkari… aku melampiaskan semua kemarahan itu padamu.”
Aku ingin marah. Aku ingin berteriak. Tapi tubuhku terasa kaku. Hampa.
“Lihat saja ibumu,” katanya lagi, nadanya getir. “Dia pun tak peduli denganmu. Dia tinggal dengan suaminya yang baru. Dia hidup dengan gaya hidupnya yang mewah. Tak pernah menengokmu. Karena… pada akhirnya, bahkan dia pun tahu… kamu tidak benar-benar bagian dari hidupnya lagi.”
Air mataku jatuh tanpa bisa kubendung. Satu demi satu. Bukan hanya karena kebenaran yang menghancurkan, tapi karena semuanya kini masuk akal. Diam ibuku. Jarak ayah. Semua perlakuan dingin dan kasar itu… ternyata karena aku bukan milik siapa-siapa.
“Aku bukan anak siapa-siapa,” bisikku.
Ayah menatapku lama. “Kamu memang bukan darahku. Tapi kamu… tetap tumbuh jadi seseorang yang kuat. Aku tak pernah mengira kamu bisa sejauh ini. Mungkin aku yang gagal sebagai manusia, tapi kamu—kamu lebih dari siapa pun yang kubayangkan.”
Tapi semua kata itu terlalu telat. Karena luka sudah jadi bagian dari jiwaku.
Malam itu, aku tidur dengan perasaan kosong. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat ke cermin bukan untuk bertanya siapa aku ingin jadi, tapi siapa aku sebenarnya.
Ayah menatapku lama, mungkin mencoba mencari sisa cinta dalam tatapanku yang sudah remuk. Tapi di balik kekosongan mataku, aku bisa merasakan bahwa hatinya mulai terbuka… meski sangat terlambat.
Lalu ia berkata, dengan suara bergetar, seperti menahan tangis yang tak biasa ia tunjukkan:
“Kau memang bukan anakku, Amelia…
Tapi bukan berarti aku tidak bisa menjadi ayah bagimu.
Aku tahu, selama ini aku gagal aku melukaimu, menyiksamu, membuatmu tumbuh dalam ketakutan. Tapi itu bukan salahmu. Itu kesalahanku.
Dan sekarang… aku tak minta kau langsung memaafkanku. Aku tahu itu butuh waktu.
Tapi mulai hari ini…
Aku bersumpah, kau akan menjadi anak yang paling bahagia saat bersama ayahnya.
Aku akan berusaha sekuat tenaga. Aku akan belajar jadi ayah yang layak kau miliki.
Maafkan aku, nak…
Aku terlalu buta oleh luka dan kebencian, sampai lupa bahwa kamu adalah satu-satunya cahaya yang tersisa dalam hidupku.”
Tanganku gemetar. Mulutku masih terkunci. Tapi air mataku tak bisa dibohongi aku menangis bukan hanya karena luka… tapi karena untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat. Diterima. Dicintai… meski masih samar.