Oleh: Tri Rahayu, M. Pd., Kepala SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Pamotan Rembang
“Bagiku sebuah bolpoin seharga seribu rupiah lebih bernilai daripada tumpukan sejuta rupiah uang”, begitulah ucapan seorang kawula muda. Siapapun pasti akan heran mendengar pernyataan yang seperti itu. Dan kitapun barangkali akan berpendapat sama, pastilah dia, si kawula muda itu tidak mengerti bab ekonomi. Bahkan sangat mungkin semua manusia di zaman modern, baik di desa maupun di kota akan berkomentar, apalah arti sebuah bolpoin daripada uang yang sejuta itu.
Si kawula muda tampak bukan termasuk dalam kategori homo-economicus sebagaimana terdefinisikan oleh Adam Smith dan Karl Marx. Ia bahkan mendapat respon ramai berteriak: “have money good boy, no money good bye”. Begitulah kira-kira kecenderungan masyarakat kini yang menekankan kepada orientasi harga (price oriented). Tidak hanya pangan, sandang, dan papan saja yang dihargakan, tapi sudah menjarah sampai kepada harga sebagai ukuran kualitas manusia.
Bukankah tak jarang kita saksikan ada harga seorang khatib? Ada lagi harga seorang mubalighah? Dan harga sebuah senyum pramuniaga pasar swalayan? Kita tahu harga adalah rupiah, real, dinar, atau dolar. Dan hampir meratalah pendapat bahwa “money is everything”. Tak heranlah bila kita kadang mendengar nasihat orang tua kepada anaknya agar menjadi dokter medis sehingga dapat mengantongi banyak uang melalui kotak-katik stetoskop dan resep dalam waktu yang singkat. Kerjaan “terkesan” enteng tapi untung besar. Masih banyak lagi yang dapat kita lihat dengan mata telanjang. Semisal, harga seorang petinju terletak pada bobot kepalan tangannya. Harga seorang qori’ atau qori’ah pada liak-liuk suaranya. Harga seorang terpelajar pada jenis ijazahnya. Sejauh itu akhirnya, derajat dan martabat seorang manusia ciptaan Allah SWT ditentukan oleh tingkat penghasilan atau gajinya perbulan. Begitu pula derajat dan martabat sebuah negara atau bangsa ditentukan semata oleh income percapita nya.
Lalu kita merenung kemudian mempertanyakan tentang apa kelanjutan dari cara memandang kehidupan kita ini yang ber- price-oriented? Maka boleh jadi kita akan termasuk orang yang digelari sebagai mata duitan. Air, tanah, udara, sinar matahari dan bulan, flora dan fauna bisa berubah oleh mata kita menjadi duit. Lembaga pendidikan negeri atau swasta, sekolah, madrasah, dan pesantrenpun menjadi duit. Bahkan betis, pinggang, pinggul, dada, bibir, dan bagian tubuh manusia dapat dikelola menggunakan teknologi canggih agar mendatangkan dolar dan devisa.
Gambaran Sebuah Nilai
Barangkali memang benar, kalau seorang ekonom kontemporer berdalil bahwa mata duitan itulah indikator dari masyarakat atau bangsa modern, maju, dan economic-minded. Tapi, apakah kita akan membenarkan dalil itu? Ternyata masih ada di antara kita tidak semata price oriented. Itulah kawula muda yang memilih bolpoin daripada sejuta rupiah. Ia memiliki cara memandang yang lain dari kita umumnya. Ia melihat bahwa bolpoinnya selain memiliki harga (seribu rupiah) juga mengandung nilai. Nilai bolpoin itulah yang dapat memberi kepuasan batinnya, ketentraman jiwanya. Bolpoin dijadikan temannya di kala si kawula muda itu kesepian. Dengan bolpoin itu ia membuat garis-garis lurus atau parabola sebagai pernyataan suara hatinya, persepsinya, atau apresiasinya tentang kehidupan. Menggariskan ilmu yang ditekuninya.
Dengan bolpoin itu ia menggambarkan dan mengabstraksikan kehidupan ekonomi yang semu. Dengan bolpoin itu ia merangkai kata dan kalimat tentang perdamaian, keadilan, kebenaran, obyektivitas, dan subyektivitas yang kemudian dilayangkan dalam bentuk surat kepada Pak Lurah, Pak Gubernur, bahkan ke para negarawan dan negarawati dari ujung barat hingga timur. Si kawula muda pun puas ketika ia dengan bolpoinnya itu berhasil membangun benang merah yang menghubungkan ekonomi desa dengan ekonomi kota dalam rangka income distribution yang adil. Mengingatkan para jutawan agar berzakat, berinfaq, dan bershadaqah dengan bolpoinnya. Dan tampak oleh kita si kawula muda memberi nilai lebih tinggi lagi kepada bolpoinnya ketika berhasil melukiskan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada orang tuanya, kepada kaum dlu’afaa, kaum fukaraa’ dan masaakiin serta golongan ekonomi lemah.
Itulah gambaran sebuah nilai, gambaran terhadap sesuatu yang value-oriented mendahului yang price-oriented. Dan cara memandang ekonomi versi kita sebagai manusia yang manusiawipun hendaknya tidak meninggalkan orientasi nilai. Tanpa orientasi nilai pastilah kita akan cenderung menjadi binatang ekonomi yang buas, yang kuat menerkam yang lemah. Binatang ekonomi yang tidak mengenal produk-produk barang atau jasa yang halal atau haram karena lebih mengutamakan profit-seeking. Semua cara ditempuh, halal atau haram yang penting untung.
Binatang ekonomi semacam ini hendaknya kita sekolahkan, kita latih agar mengetahui nilai dan terampil mengaplikasikannya dalam menetapkan harga dan menghargai sesuatu. Agar binatang ekonomi ini tidak liar, menjadi jinak dan menjalankan definisi untung rugi menurut Alah SWT dalam surat al-Ashr: “… Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang beriman dan berbuat kebaikan dan amal saleh dan …” . Dari potongan firman Allah SWT ini kita dapat menarik garis bahwa ekonomi yang berorientasi nilai akan menghasilkan harga yang berorientasi kepada iman. Artinya di dalam harga yang ditetapkan atau dalam harga yang terjadi dari suatu produk atau jasa sudah mengandung nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan kehalalan serta kemanfaatan fungsional.
Tentang hal ini kita akan mengakui secara jujur, bahwa walaupun petani kecil dan buruh tani memiliki opportunity cost mendekati nol, tapi mereka memiliki nilai yang sangat tinggi. Mengapa? Karena dengan produksi berasnya sebagai hajat hidup pokok (basic need) manusia, meski dengan harga beras yang relatif masih rendah, telah mampu menunjang stabilitas politik dan ekonomi. Dan kita tahu beras yang masuk lalu dimasak di seluruh dapur rumah tangga Indonesia adalah hasil budidaya dan jasa petani kecil serta buruh tani. Kalau sebagian petani itu mogok tak mau lagi membudidayakan beras, atau apabila produksinya melorot drastis, maka rumah tangga dan negara akan guncang hebat, guncangan yang lebih seru daripada gempa bumi. Lalu mengapa kita tak memberi nilai tinggi kepada petani beras walaupun “harga petani”-nya masih rendah? in syaa a Allah kita memberinya. Dan kita pun memberi nilai tinggi kepada bolpoin kawula muda meskipun harganya hanya seribu rupiah. Bagaimana? Wallahu a’lamu bi al-Shawwab.